Sabtu, 24 Oktober 2015

WIS-UDAH

Terang dalam simfoni keindahan
Kembang senyum hiasi tiap jiwa
Langkah penentuan telah tiba
Namun,
Ini bukanlah lembar penghujung
Hanya satu dari sekian jejak impian
Bahagia tuk setiap pertemuan
Bersujud tuk segala berkah
Terima kasih
Semua

Kamis, 22 Oktober 2015

Kamu (masih) temanku

Hari kemarin kita dipertemukan dalam suatu kepentingan yang sama. Aku tak mungkin pura-pura tak mengenalmu karena nyatanya kita pernah hidup bersama. Jika kau tanya bagaimana suasana hatiku, kan kujawab "aku benci suasana hati seperti ini. Benci dan amarah berlarian". Aku tak membencimu. Aku takkan pernah berhak marah padamu. Di sini tak ada kesalahan. Namun jika memang harus ada yang dipersalahkan, tuduhkan saja pada keadaan. Dia yang mencipta suasana keruh seperti ini.
Dulu kita tak saling kenal, kemudian menjadi akrab. Sekarang doaku adalah semoga hatiku selalu bisa menerimamu tetap sebagai teman. Sekalipun kini kita sudah memandang berbeda satu sama lain. Semoga bahagia selalu dengan apa yang kau jalani sekarang dan seterusnya.

Rabu, 21 Oktober 2015

TAK LAGI SEPI



Pagi itu hujan turun tanpa permisi
Sang bayu pun tak luput mengiringi
Menggugurkan kembang-kembang durian

Pagi itu kau duduk pada bangku tua anyaman bambu
Menghirup panjang hawa dingin
Menghitung tetesan bening pada telapak tangan

Bahagia kulihat wajahmu
Senyummu mengembang rekah
Kau tak lagi sepi
Kau tak lagi sendiri

Pagi itu kau ditemani kiriman sang langit
Menyiram sejuk hati yang beku
Mengalirkan pikir yang tak lagi jernih

Tuhan,
Terima kasih atas hujan yang Kau beri
Karena hujan-Mu lah dia tersenyum
Karena hujan-Mu lah dia tak lagi sepi

Senin, 12 Oktober 2015

Aku Cinta Papua



               
Mamberamo. Di sinilah aku sekarang. Sebuah daerah terpencil di pedalaman Papua. Sebuah wilayah yang takkan muncul di google map atau bahkan atlas. Berdasarkan garis lintang dan garis bujur, tentu pada titik yang kumaksud hanya tampak warna hijau. Tempatku berpijak kini tepatnya berada di Mamberamo Ulu. Kecamatan ini  memang hanya perkampungan diantara hutan dan sungai besar. Bahkan untuk menuju wilayah kabupaten harus menempuh perjalanan enam jam menggunakan speedboat.
“Bu guru Luna, mari kita berangkat!” teriak suara melengking anak perempuan dari luar kelas.
“Iya, sebentar.” Aku buru-buru membereskan hasil ulangan siswa dan segera berlari ke luar kelas.
“Ayo bu guru, aku sudah tidak sabar mau berenang di air terjun,” tangan-tangan kecil menggamit kedua tanganku dan berjalan riang di samping kanan - kiriku.
“Bu guru juga ingin sekali melihatnya, apa benar cerita yang selalu dikatakan oleh Bertus kalau air terjun itu sangat indah ataukah hanya imajinasinya saja,” sahutku sambil bergurau.
“Benar bu guru, aku tak pernah berbohong,” bela Bertus yang berjalan bersama ke tiga temannya di depanku.

Minggu, 11 Oktober 2015

Sebuah Tanda


Aku tersentak. Kulihat jam dinding yang tertempel pada bilik kamar menunjuk angka satu. Masih tengah malam. Tanpa terasa keringat dingin mengucur dari pori-pori kulit wajahku. Aku meringkuk. Tanganku gemetar merengkuh kedua kakiku. Aku takut.
            Aku menoleh wanita separuh baya yang terbaring di samping kananku. Masih terlelap dalam tidurnya. Raut wajah yang mulai keriput menampakkan keletihan.
            “Bu, Tita mimpi ayah lagi...” ucapku berbisik di depan wajah beliau.
            Sudah seminggu terakhir aku selalu memimpikan Ayah. Tak tahu pasti dimana lokasinya. Kadang melihat ayah sedang menatap kosong. Melihat ayah duduk sendiri di tengah keramaian. Melihat ayah hampir tertabrak mobil ketika sedang menyebrang. Dan mimpi terburuk adalah malam ini. Aku tak sanggup untuk membayangkannya lagi. Ayah, Tita kangen. Tita nggak mau mimpi-mimpi buruk tentang Ayah lagi. Semoga ayah baik-baik saja di sana ya...
***

Kamis, 08 Oktober 2015

Perihal Khianat

Prang!
Suara benda pecah kembali terdengar. Sudah bisa dipastikan itu pertanda perang akan di mulai. Ada apa lagi ini?
“Mau kemana keluar tengah malam begini? menyusul pelacurmu yang sedang sekarat di rumah sakit?” teriak seorang perempuan terdengar begitu jelas.
“Jangan pernah menyebutnya pelacur, Merli. Dia punya nama, Kinanti!” suara bariton terdengar tak kalah keras. “Oh ya, urus saja anakmu yang tidak berguna,” lanjutnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibanting.
Anak tak berguna? Iya aku tahu siapa yang dimaksudnya. Siapa lagi kalau bukan aku, seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang sama sekali tak berguna, bahkan hanya untuk mengurus diri sendiri pun tak mampu. Apa lagi yang mau di harapkan dari gadis yang hanya terbaring di atas kasur dan terisolasi dalam sebuah ruangan berdinding ungu gelap selama berbulan-bulan?