Cinta datang seiring adanya perhatian yang terus menerus, cinta pergi
seiring adanya pengabaian. Itu saja. Tidakkah kau setuju dengan ucapanku? Buktikan
saja. Ketika sering diberi perhatian, tumbuhlah benih-benih cinta karena
terbiasa. Indah dunia karena bisa menikmati hari dengan saling memberi rasa
bersama. Sebaliknya, cinta akan pudar setelah berulang kali mendapatkan
pengabaian. Luka yang muncul karena diacuhkan, semakin lama akan mengikis
perasaan yang disebut cinta.
Boneka Bear, kotak music, dan sepucuk surat. Tiga benda pemberian
seseorang yang sekarang harus kumasukkan ke dalam sebuah kardus. Bukan untuk
dibuang atau diloakkan, hanya perlu disimpan agar tak terlihat mata. Karena
setiap pandangan menangkap benda-benda tersebut, mata seketika ingin menitikkan
Kristal bening dari dalamnya. Teringat pemberinya, luka-luka yang telah menggores
hati, kembali terasa pedih. Nyeri.
“Clara…” Panggil seseorang dari arah pintu kamar.
“Hai,” balasku setelah menoleh panggilan dari sahabatku.
“Udahlah Cla, jangan terus menyakiti dirimu sendiri.”
“Ini cinta pertamaku, Cla. Aku serius menjalani hubungan ini, setulus
hati. Namun ternyata aku buta.”
Ya. Aku dibutakan oleh pesona seorang lelaki yang (ternyata) hanya
mengumbar kata cinta. Diumurku yang sebentar lagi kepala dua, baru kurasakan
letupan-letupan perasaan asing yang katanya disebut cinta. Perasaan yang tumbuh
karena terus dipupuk oleh perhatian.
Indah diawal, pahit diakhir.
Terkadang kalimat itu ada benarnya. Semua akan nampak indah dan manis ketika
masa pendekatan, namun setelah menjalin hubungan lama-kelamaan terasa hambar.
Kukira perhatian yang semakin lama semakin berkurang, hanya karena suatu
kesibukan. Dan setelah penantian yang lama, barulah mata bisa melihat dengan
jelas. Kebohonganlah yang tergambar.
Pedih kerap terasa hingga ulu hati yang membuat pernafasan sesak
seketika. Bodoh sekali aku yang terus mengharapkan seseorang yang sebenarnya sudah
tak mengharapkanku lagi. Satu per satu titik terang mulai menyala. Dari yang
katanya sibuk, bosan, hingga yang terakhir kudapati bukti bahwa orang yang
selama ini kupertahankan lebih memilih perempuan lain untuk menemaninya.
Jika ditanya sakit, itu jelas terasa. Untuk apa selama ini aku
menanti? Apakah memang hanya satu pihak yang terluka? Apakah hanya satu pihak
yang ingin tetap bersama?
Rasa nyeri yang menggunung, kini berubah menjadi suatu kekecewaan yang
tak berkesudahan. Jika memang dia sudah tak ingin bersama, mengapa tak
mengatakan saja? apa memang ingin membuatku menyerah perlahan? Kenapa tak
sekalian saja membunuh hatiku agar cepat selesai!
“Jangan terlalu membenci, mungkin dia memang benar ingin menjaga jarak
denganmu agar nantinya kamu siap untuk menjalin hubungan jarak jauh selepas
wisuda nanti,”
“Nyiapin LDR? Masih dekat aja nggak pernah ada kabar, apalagi nanti
kalau udah jauh. Mungkin semakin
terabaikan,” Jawabku sakratis, “Apapun alasannya, tak ada lagi kalimat yang
bisa kupercaya darinya.”
Perempuan berwajah mungil itu hanya memandangku dengan tatapan iba.
Kurasa dia turut lelah menghadapiku yang hampir setiap hari mengeluhkan kisah
cinta yang tak menyenangkan.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Cla. Jika berhenti adalah pilihan
yang kamu ambil, harus siap kehilangannya.”
Lagi-lagi aku tersenyum pahit, “Aku memang telah lama kehilangannya.”
Dari awal kami sudah berbeda, dan hingga akhirpun takkan pernah bisa
sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar