“Samudra…!”
Suara
perempuan setengah baya memecahkan keheningan rumah di siang bolong.
“Iya
mama, ada apa?” sahut anak lelaki tak kalah lantang dari dalam rumah.
“Kau
sudah dengar adzan? lekaslah ke masjid.”
“Iya
mama, Sam punya sarung sedang dipakai.”
Anak
lelaki berumur sepuluh tahun itu segera membenahi sarung yang dipakai kemudian
bergegas menuju masjid yang hanya berjarak 20 meter dari rumah.
Sambil
bersenandung riang, Sam melangkahkan kakinya menuju rumah ibadah satu-satunya
di kampungnya. Mendadak langkahnya terhenti tepat di depan gerbang masjid,
kemudian menoleh kearah kanan dan membaca tulisan yang ada di papan.
“Masjid
Al Yassin, Kampung Patimburak, Distrik Kokas.”
“Sedang
apa kau Sam?” seorang bapak tiba-tiba menepuk bahu Samudra.
“Ah,
tidak. Mari masuk Pak. ”
Mereka
bersama-sama memasuki masjid tua yang masih kokoh bangunannya. Samudra
mengambil shaff kedua. Zuhur kali ini, seperti biasa hanya terisi dua baris
gelaran sajadah. Baru saja anak itu berniat duduk, muadzin sudah
mengumandangkan iqomah.
***
“Samudra…!”
“Iya
mama, mengapa mama selalu berteriak?”
“Takutnya
kau tak dengar mama punya panggilan. Pi
mana bawa buku gambar segala?”[1]
“Mau
menggambar di luar, mama. Tenang saja, tak jauh-jauh.”
Sam
keluar rumah dengan membawa buku gambar ukuran A4 di tangan kiri dan tangan
kanannya menggenggam pensil serta penghapus. Langkah kakinya menuju pohon besar
yang berada di depan masjid.
Sam
sudah membayangkan jika menggambar di bawah pohon itu pasti akan sangat sejuk. Sedikitpun
tak ada rasa takut dia mendekati pohon Mangga super besar yang konon ada
penghuninya. Bagaimana tidak menyeramkan, perlu empat rentang tangan orang
dewasa untuk merengkuh keseluruhan batang pohon itu.
Setelah
menempatkan posisi yang nyaman, Sam memandang lurus ke depan. Matanya menangkap
sebuah bangunan yang umurnya mungkin sama dengan umur pohon mangga tempatnya
bersandar. Entah dapat ide dari mana, mendadak Sam ingin menggambar masjid
tempatnya sholat setiap waktu.
Dibukanya
halaman yang masih kosong kemudian Sam mulai menggoreskan bukunya menggunakan
pensil yang sudah runcing. Sesekali matanya mendongak memperhatikan arsitektur
bangunan, lalu kembali menunduk menuangkan apa yang ditangkap matanya.
Masjid
Al Yassin berbentuk segi delapan. Jika dari jauh, bangunan itu nampak seperti
gereja karena bagian kubah menjulang tinggi dan atapnya terdiri atas tiga
tingkat. Pertama-tama Sam membuat dinding masjid terlebih dahulu, kemudian
mulai ke atas. Mulai menggambar atap paling bawah yang menyatu dengan atap
keempat serambi masjid, dilanjutkan atap bagian tengah yang dibuat secara
melingkar, lalu atap paling atas yang merupakan kubah masjid.
“Bagus
sekali gambarmu, Nak,” puji seseorang yang sudah berdiri di samping Sam
beberapa saat lalu.
“Eh
sejak kapan Kyai tiba di sini?” tanya Sam kaget.
“Baru
saja, ternyata kau pandai menggambar ya.” Kyai turut duduk di sebelah Sam, lalu
tersenyum.
“Ah,
saya punya gambar masih sangat jelek ini,” Samudra nampak malu.
“Tidak
ada sebuah karya yang jelek, Nak. Mengapa kau menggambar masjid itu sam?”
“Setiap
hari Sam sholat di situ, jadi ingin punya gambarnya untuk dipajang di kamar,”
jawab Sam sambil tersenyum.
“Kamu
punya gambar sudah hampir selesai. Sam ingin dengar sejarah tentang masjid Al
Yassin?” Kyai menawarkan.
“Kyai
tahu? Tentu saja akan saya dengarkan ceritanya,” seru Sam antusias.
“Baiklah.
Kau tahu, masjid itu sedah sangat lama dibangun. Konon itu adalah masjid tertua
di tanah Papua…”
“Luar
biasa!” potong Sam terkejut.
“Menurut cerita yang Bapak dengar, masjid tersebut dibangun
dimasa Raja Wertuer I bernama kecil Semempe. Saat itu, tahun 1870, Islam dan
Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup berdampingan di Papua...”
Sam masih terdiam menyimak cerita Pak
Kyai dengan seksama.
”Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke
Kabupaten Fak-fak, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah
kepercayaannya. Maka ia membuat sayembara: misionaris Kristen dan imam Muslim
ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak,
gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa
menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat
Wertuer akan memeluk agama itu...”
”Lalu siapa pemenangnya, Kyai?” Sam
sangat penasaran.
”Tuhan telah berkehendak, Masjid lah
yang berdiri pertama kali, maka raja dan seluruh rakyatnya pun memeluk Islam.
Bahkan sang raja kemudian menjadi imam juga, dengan pakaian kebesarannya berupa
jubah, sorban, dan tanda pangkat di bahunya.”
”Wah, hebat sekali orang-orang yang
dulu membangun masjid itu. Sam baru dengar cerita ini dari Kyai saja.” Sam
nampak beruntung dapat mendengar cerita sejarah berdirinya masjid tempatnya
beribadah.
”Begitulah perjuangan dahulu. Sekarang
tugas anak-anak muda seperti kamu adalah merawatnya agar bisa terus digunakan
untuk beribadah,” Kyai menepuk bahu Sam.
Anak kecil itu membalas dengan
senyuman penuh arti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar