Kepada: seorang teman.
Apa kabar kamu di sana?
Kuharap sehat selalu.
Bagaimana tugas akhirmu? Sudah sampai bab berapa? Ataukah justru sudah daftar sidang pendadaran?
Maaf teman, jika selama ini aku tak berusaha menghubungimu. Bukan maksudku untuk melupakan pertemanan kita selama ini. Diam-diam aku terkadang membuka profilmu di sosmed, hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu saat ini. Aku bahagia. Turut senang dengan kalimat-kalimat semangat yang kamu tulis di status. Kuharap semangatmu benar--benar telah kembali.
Sesekali, sebenarnya aku ingin menyapamu walau hanya lewat dunia maya. Namun aku tak berani. Aku takut kamu benar-benar tak ingin berkomunikasi lagi denganku. Masih teringat jelas katamu tempo hari, "terimakasih karena sudah menjadi orang terdekatku, tapi aku minta maaf karena setelah ini mungkin aku tak bisa sedekat ini lagi. Aku perlu waktu untuk menentramkan hatiku. Aku akan belajar tanpamu."
Sungguh kalimat itu terus menerus menggema di telingaku. Jika ditanya siapa yang saat itu terluka, tentu bukan hanya kamu. Kamu memutuskan pergi sesaat setelah mendengar jawabku atas pernyataan dan pertanyaanmu.
Ah ralat. Saat itu mungkin belum merasa terluka. Namun setelah kepergianmu, setelah menghilangnya kamu dan tak pernah ada kabar, disitu aku terluka. Terlambat menyadari sebuah rasa.
Kemarin seorang teman mengabari katanya kamu sudah memiliki seseorang di sana. Jika memang benar, aku turut mengucap selamat. Yah meskipun aku belum yakin akan kebenaran kabar itu. Ah, apakah ini karena aku yang mungkin belum merelakanmu?
Teman, jika surat ini sampai kepadamu, aku hanya ingin mengatakan "berbahagialah kamu dengan apa yang kamu lakukan dan dengan siapa kamu sekarang."
Aku takkan memintamu kembali. Tidak. Jika jauh dariku memang membuatmu lebih nyaman, itu bukan masalah untukku. Terima kasih untuk semua canda tawa terdahulu. Terima kasih sempat memberi pelangi di hatiku.
Salam,
Temanmu
Kirani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar