Pagi ini kuberanikan diri untuk mengunjungimu. Kubawakan seikat bunga mawar putih untukmu. Seperti yang kamu lakukan ketika pertama kali mengutarakan perasaanmu padaku.
"Hai, apa kabar?" sapaku terduduk di depanmu.
...
"Ini kubawakan bunga, masih ingat tentang bunga ini?" kuletakkan bunga itu di pangkuanmu.
...
"Maaf, setelah hampir setahun, aku baru mengunjungimu," aku menunduk, tak mampu memandangmu.
...
"Dulu, dua tahun yang lalu aku pernah merasa bahagia. Sangat bahagia. Bahkan satu kali pernah kurasakan sebuah dekapan erat dari belakang. Saat itu benar-benar terharu, merasa ada seseorang yang takut kehilanganku. Kemudian aku berdoa agar bisa selamanya begitu." Aku menghela nafas panjang.
...
"Namun doa tak selalu terkabul. Doaku hanyalah sebuah harap yang tak pernah terwujud. Seseorang menghianatiku. Bermain api dibelakangku. Sebagai imbalan, aku mendoakan hal buruk untuk orang itu. Aku khilaf, lepas kendali."
...
"Maafkan aku. Aku merasa berdosa karena mengharap sebuah balasan yang setimpal. Bukan maksudku berakhir seperti ini. Namun rasa sakit yang begitu dalam saat itu, membuatku murka. Aku tak ingin kamu bahagia dengan yang lain."
...
"Benar kata pepatah, cinta dan benci itu bedanya sangat tipis. Semakin dalam rasa cinta itu, jika berbalik menjadi benci juga akan begitu dalam. Seluruh cinta yang memenuhi hatiku sesaat berubah keseluruhan menjadi benci."
...
"Setelah setahun berlalu, kurasa aku baru bisa memaafkanmu sepenuhnya. Pergilah dengan tenang. Jika kematianmu ada campur tangan dari doaku, mohon maafkan aku."
Kuangkat kepalaku. Menatap sebuah nisan yang tertulis nama seseorang yang pernah menjadi bagian di hidupku. Aku pernah sangat bahagia bersamanya, namun aku juga pernah begitu hancur karenanya. Pada akhirnya, semua kesalahan harus termaafkan. Beranjak dan meniti kembali kehidupan yang masih berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar