Hari ini tepat delapan puluh hari kita bersama. Memang belum apa-apa dibandingkan dengan kebersamaan kita hingga syurga nanti (aamiin, insyaAllah). Tak pernah bosan untuk mengucap, terima kasih karena memilihku, sayang.
Dalam kurun waktu ke belakang, begitu banyak hal yang menjadi catatan untuk belajar tentang membangun rumah tangga. Kita belum lama saling tahu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk berkenalan. Bahkan kita baru saling mengenal lebih dalam ketika kamu telah sah menjadi imam untukku. Kamu yang selalu rapi, peka, dan disiplin harus menghadapiku yang cuek, nggak peka, dan lola. Sepanjang hari, kamulah yang lebih banyak memberi tahu dan membimbing. Dan lagi-lagi aku merasa tak pantas menjadi istrimu.
Seorang kawan pernah bercerita tentang suaminya yang luarbiasa sementara dirinya merasa bukan apa apa, sama sepertiku. Dan yang ia katakan adalah sudah bukan waktunya untuk minder, tetapi sekarang saatnya untuk meningkatkan kualitas diri supaya kita menjadi pantas disamping suami. Konteknya tak melulu soal penampilan fisik, tetapi lebih pada urusan hati dan sikap.
Benar, tugas seorang istri adalah melayani suami. Menjadi pemimpin di dalam rumah suami, jadi harus bertanggungjawab atas tugas yang telah dipercayakan.
Aku yang sejak dulu selalu merasakan hidup berkecukupan hingga diri merasa lalai, sementara suami sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri hingga perjuangannya sampai titik ini, semua dilewati dengan penuh perjuangan dan keprihatinan. Aku beruntung memilikimu, mas. Dan sebagai gantinya, aku juga tak mau membuatmu menyesal telah menikahiku. Perlahan kuakan belajar menjadi istri yang bertanggungjawab untuk keluarga kecil kita.
Kadang aku berpikir, Ya Allah, nikmat banget hidupku. Apa yang diminta hampir seluruhnya mudah untuk terkabul, termasuk ketika memohon diberi pendamping yang sholeh. Allah begitu cepat mengirimkan untukku. Sungguh, aku takut semua nikmat dan kemudahan ini melalaikanku.
Menikah di umur 25 bagi orang lain adalah waktu yang tepat, namun dari sisi perjuangan doa dan usahaku, itu baru saja dimulai, langsung Allah kasih. ALLAH SWT memang Maha Baik. Semoga aku tak pernah kufur atas semua rezeki yang telah diberikanNya.
Teruntuk suamiku,
Aku percaya kamu tak sembarangan memilihku menjadi istrimu. Aku percaya bahwa kamu telah mempertimbangkan baik buruknya diriku. Dan aku percaya juga kamu menerimaku semata-mata karena Allah, bukan karena hal lain.
Suamiku, maafkan aku yang masih harus banyak dibimbing, dan bahkah ada kalanya ketika kita ngobrol merenungi sesuatu, aku lebih banyak diam hingga menjatuhkan air mata. Ketika kamu sedang menceritakan urusan keluarga, juga akhirat, aku tak dapat memberikan banyak kata. Aku terlanjur untuk terbawa perasaan. Padahal pada waktu-waktu tertentu, sebenarnya kamulah yang membutuhkan lebih banyak support dan kekuatan, tetapi lagi-lagi kamu yang harus menguatkanku.
Pula, ketika tiba tiba aku merasa "benar" bisa saja aku menjawab dan muncul emosi, namun segera kuredam. Aku tak boleh lagi mengedepankan egoku. Dalam berumah tangga, tak ada yang salah atau benar. Yang ada hanyalah saling belajar dan mengingatkan. Aku paham kamulah yang lebih sering meredam gejolak hati atas sikapku yang masih banyak kekurangan.
Aku yang lemah, aku yang cengeng, aku yang nggak peka, aku yang egois, aku yang masih kekanakan, maafkan aku.
Sekali lagi, aku akan berusaha membuktikan bahwa kamu tak akan menyesal memilihku. Jika aku belum juga mampu memberikan sesuatu yang lebih untukmu, setidaknya aku sedang usaha agar tak membuatmu kecewa.
Pada bulan ke tiga pernikahan kita, aku belum juga mendapat tanda akan diberi titipan buah hati. Sedih, tentu saja. Apalagi ketika kita sedang menceritakan soal bayi, aku dapat melihat dengan jelas kamu sudah begitu mendambakannya, namun Allah belum mengizinkan. Pada titik itu, bukankah harusnya aku yang menghiburmu agar kita tetap optimiss? Namun lagi-lagi hatiku yang kembali remuk. Kamu yang menguatkanku. Lagi dan lagi.
Suamiku, terima kasih untuk kesabaran tanpa batasmu. Aku akan berusaha keras untuk mewujudkan semua mimpi kita, dengan ridho Allah SWT.
Love you.
Dalam kurun waktu ke belakang, begitu banyak hal yang menjadi catatan untuk belajar tentang membangun rumah tangga. Kita belum lama saling tahu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk berkenalan. Bahkan kita baru saling mengenal lebih dalam ketika kamu telah sah menjadi imam untukku. Kamu yang selalu rapi, peka, dan disiplin harus menghadapiku yang cuek, nggak peka, dan lola. Sepanjang hari, kamulah yang lebih banyak memberi tahu dan membimbing. Dan lagi-lagi aku merasa tak pantas menjadi istrimu.
Seorang kawan pernah bercerita tentang suaminya yang luarbiasa sementara dirinya merasa bukan apa apa, sama sepertiku. Dan yang ia katakan adalah sudah bukan waktunya untuk minder, tetapi sekarang saatnya untuk meningkatkan kualitas diri supaya kita menjadi pantas disamping suami. Konteknya tak melulu soal penampilan fisik, tetapi lebih pada urusan hati dan sikap.
Benar, tugas seorang istri adalah melayani suami. Menjadi pemimpin di dalam rumah suami, jadi harus bertanggungjawab atas tugas yang telah dipercayakan.
Aku yang sejak dulu selalu merasakan hidup berkecukupan hingga diri merasa lalai, sementara suami sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri hingga perjuangannya sampai titik ini, semua dilewati dengan penuh perjuangan dan keprihatinan. Aku beruntung memilikimu, mas. Dan sebagai gantinya, aku juga tak mau membuatmu menyesal telah menikahiku. Perlahan kuakan belajar menjadi istri yang bertanggungjawab untuk keluarga kecil kita.
Kadang aku berpikir, Ya Allah, nikmat banget hidupku. Apa yang diminta hampir seluruhnya mudah untuk terkabul, termasuk ketika memohon diberi pendamping yang sholeh. Allah begitu cepat mengirimkan untukku. Sungguh, aku takut semua nikmat dan kemudahan ini melalaikanku.
Menikah di umur 25 bagi orang lain adalah waktu yang tepat, namun dari sisi perjuangan doa dan usahaku, itu baru saja dimulai, langsung Allah kasih. ALLAH SWT memang Maha Baik. Semoga aku tak pernah kufur atas semua rezeki yang telah diberikanNya.
Teruntuk suamiku,
Aku percaya kamu tak sembarangan memilihku menjadi istrimu. Aku percaya bahwa kamu telah mempertimbangkan baik buruknya diriku. Dan aku percaya juga kamu menerimaku semata-mata karena Allah, bukan karena hal lain.
Suamiku, maafkan aku yang masih harus banyak dibimbing, dan bahkah ada kalanya ketika kita ngobrol merenungi sesuatu, aku lebih banyak diam hingga menjatuhkan air mata. Ketika kamu sedang menceritakan urusan keluarga, juga akhirat, aku tak dapat memberikan banyak kata. Aku terlanjur untuk terbawa perasaan. Padahal pada waktu-waktu tertentu, sebenarnya kamulah yang membutuhkan lebih banyak support dan kekuatan, tetapi lagi-lagi kamu yang harus menguatkanku.
Pula, ketika tiba tiba aku merasa "benar" bisa saja aku menjawab dan muncul emosi, namun segera kuredam. Aku tak boleh lagi mengedepankan egoku. Dalam berumah tangga, tak ada yang salah atau benar. Yang ada hanyalah saling belajar dan mengingatkan. Aku paham kamulah yang lebih sering meredam gejolak hati atas sikapku yang masih banyak kekurangan.
Aku yang lemah, aku yang cengeng, aku yang nggak peka, aku yang egois, aku yang masih kekanakan, maafkan aku.
Sekali lagi, aku akan berusaha membuktikan bahwa kamu tak akan menyesal memilihku. Jika aku belum juga mampu memberikan sesuatu yang lebih untukmu, setidaknya aku sedang usaha agar tak membuatmu kecewa.
Pada bulan ke tiga pernikahan kita, aku belum juga mendapat tanda akan diberi titipan buah hati. Sedih, tentu saja. Apalagi ketika kita sedang menceritakan soal bayi, aku dapat melihat dengan jelas kamu sudah begitu mendambakannya, namun Allah belum mengizinkan. Pada titik itu, bukankah harusnya aku yang menghiburmu agar kita tetap optimiss? Namun lagi-lagi hatiku yang kembali remuk. Kamu yang menguatkanku. Lagi dan lagi.
Suamiku, terima kasih untuk kesabaran tanpa batasmu. Aku akan berusaha keras untuk mewujudkan semua mimpi kita, dengan ridho Allah SWT.
Love you.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar