Gadis itu masih termenung. Matanya menerawang jauh ke atas, menatap langit biru yang mulai meredup. Sesekali ia mainkan jemarinya pertanda sedang gelisah. Pikirannya tertuju pada satu objek, satu topik dan satu waktu.
Tanpa disadari beberapa butiran air mata terjatuh dari pelupuk matanya. Hatinya sedih, gundah dan gelisah. Memikirkan sebuah keputusan yang membuatnya terjebak pada sebuah kisah yang tak diinginkan.
Sesaat gadis tersebut kaget oleh pandangan sebuah wajah tersenyum yang muncul semu di langit. Air matanya kian deras mengalir namun tak ada suara isakan yang terdengar.
Bayangan wajah itu begitu memilukan hati. Sosok wajah lelaki yang sudah tiga tahun menemani hari-harinya. Wajah yang selalu menampakkan rona kebahagiaan, keceriaan dan keoptimisan.
Di satu waktu tiba-tiba wajah menyenangkan itu berubah menjadi wajah kemarahan, kekecewaan dan keputusasaan. Gadis itu tak kuasa menahan gejolak jiwanya saat mengingat kejadian itu.
Kejadian yang disebabkan oleh sikap sang gadis yang terlalu egois dan tak pernah mau mengerti perasaan lelakinya.
Lelaki itu lelah, putus asa dan telah habis kesabarannya untuk menghadapi kekerasan hati sang gadis. Ia merasa tak berarti dimata gadis itu. Ia merasa hanya menjadi pengganggu waktu sang gadis.
Gadis itu tertohok oleh pengakuan sang lelaki. Ia menyadari bahwa sumber permasalahan bukan pada lelaki itu, melainkan ada pada gadis itu sendiri. Ia menyadari bahwa sikapnya yang tak pernah mau mengalah kepada sang lelaki. Dia tak pernah memperlakukan lelaki itu sebagai lelakinya. Lelaki yang harus dicintai dan dimengerti.
Kini semua sudah berakhir. Sudah terlambat untuk menyesali semua perbuatan dan kesalahan. Gadis itu hanya bermohon pada Tuhan agar ia bisa didekatkan kembali dengan lelakinya jika memang berjodoh dan bila bukan jodohnya, maka perbaikilah hubungannya dengan lelaki itu agar tetap menjalin persaudaraan.
18/11/2011
18:36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar