Oleh
: Mifta Resti
Pagi ini terasa sangat panjang bagi Tini. Sebentar-sebentar
lari ke dapur, lalu balik lagi ke kamarnya, duduk di depan laptopnya yang
sering mati sendiri kalau kelamaan menyala, maklum sudah empat tahun laptop itu
menemani hari-hari Tini.
Tadi sebelum pergi ke tempat arisan, ibu berpesan padanya
untuk memasak sayur asem. Diapun mengiyakan. Selesai mandi pagi Tini menyiapkan
macam-macam sayuran yang diambilnya dari kulkas.
Kebiasaan buruk Tini yang sudah beberapa tahun tak hilang
yaitu suka melamun kalau sedang mengerjakan sesuatu. Tubuhnya di situ tapi
pikirannya terbang entah kemana, sering juga mereka-reka kejadian yang tak
pernah terjadi sebelumnya. Contohnya dulu ketika sedang duduk sendiri nunggu
bis di depan sekolah, dia membayangkan ada pangeran datang menghampiri dan
mengantarnya pulang. Tentu saja itu hanya sebatas dunia khayalnya.
Kali ini juga sama, baru saja sayuran itu dipotong-potong,
pikirannya sudah mengkhayal tinggi dan alhasil kepalanya dipenuhi oleh ide-ide
cerita yang harus segera dituang sebelum lenyap.
Tini yang selalu ngaku wajahnya mirip Alisya Subandono itu
langsung masuk kamar dan menghidupkan laptop kesayangannya. Ditulisnya apa yang
berterbangan di atas kepalanya. Ketika sedang serius terdengar suara ponsel
Tini bunyi.
Bip, bip.... sms dari ibunya muncul lagi. "Tin,
udah dimasak sayurnya? Sebentar lagi bapakmu pulang dan pasti mau makan."
Olala! Tini jadi melupakan tugasnya. Dilihatnya jam ungu yang
terpasang di dindingnya ternyata sudah dua jam terlewatkan. Jadilah Tini
bolak-bolak ke dapur dan kamar.
Lagi sibuk bolak-balik antara kompor dan laptop, Tono
pacarnya meneleponnya.
“Darling, jalan-jalan, yuukkk?"
Tini meradang. "Apaaa? Kamu gak lihat aku masak sambil
ngetik?"
Tono bingung mendapat dampratan tiba-tiba dari Tini. Tapi
setelah mendengar keluhan Tini, Tono pun berusaha menghibur.
"Wah, kamu hebat
ya. Masak sambil ngetik. Gak sekalian sambil mandiin adikmu dan betulin
genteng? Hehe…” Tono tertawa dari balik telepon.
“Hellow, betulin genteng itu pekerjaan kamu tahu!” Tini sewot
dengan tanggapan pacarnya.
“Lho, sekarang kan jamannya emansipasi, perempuan itu harus bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki juga.”
“Nggak usah pidato deh. Mendingan kamu kemari bantuin.”
Perintah Tini cepat.
“Iya iya. Tenang, Darling. Aku ke sana bantuin kamu ya. Aku
kan jago masak. Kamu terusin aja ngetiknya."
“Beneran lho, kutunggu. Awas kalau bohong, kuceraikan kamu.”
Tini mengancam dengan gayanya yang lebay.
Setelah Tono mengiyakan, sambungan pun terputus. Sayur yang
sudah diracik semua untuk sementara dikesampingkan dulu, nunggu Tono saja yang
memasak. Dia kan memang ahli menuang bumbu-bumbu ke dalam masakan sesuai
porsinya, tidak seperti Tini yang lebih sering keasinan ketika masak.
Sembari menunggu kedatangan pacarnya, dia membuat sambal. Dia ingat bapaknya yang selalu
protes kalau makan tidak ada sambal. Dituangnya banyak cabe dicampur dengan
bawang putih, sedikit terasi dan garam secukupnya ke dalam ciri kemudian menguleg dengan emosi karena menunggu kekasih tercintanya
yang tak kunjung datang.
Namun, tunggu ditunggu, Tono gak muncul juga. Tini kesal luar
biasa. Dia kirim sms ke nomor Tono bertubi-tubi. "Kartonooooo, lo di mana?
Katanya mau bantuiiiinn? Pasti lo lagi main karet gelang sama cewek-cewek
tetanggamu itu kan?"
Setelah sms tak dibalas juga, Tini mencoba menghubungi.
Ternyata yang menjawab telepon seorang cewek yang suaranya semakin membuat Tini
dongkol.
“Maaf nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau…” belum
selesai perempuan itu bicara, Tini sudah memutuskan teleponnya.
“Kartonooooooooooooo....!” Tini berteriak sendiri di rumah
sambil mulai memasak sendiri dengan wajah muram.
Tak lama kemudian bel rumah berbunyi. Spontan Tini berlari
menuju pintu depan karena yakin itu pacarnya.
“Surprise…..” Ucap
seseorang ketika Tini membuka pintu.
“Eh Kartono, dari mana saja kamu? nggak tahu aku nungguin
sampai kaki mau patah gara-gara bolak-balik kamar dan dapur? tega banget kamu.
Pacar macam apa yang nggak bertanggung jawab sama janjinya sendiri…” Tini langsung
nyemprot berbagai makian kepada Tono.
“Kartini my darling,
jangan marah gitu dong nanti cantiknya hilang lho. Kalau udah nggak cantik tuh
kayak nenek-nenek yang suka ngemis di lampu merah.” Tono ngajak bercanda.
“Nggak lucu.” Tini ngambek dan memalingkan wajahnya.
“Maaf ya, datangnya telat. Tadi hapenya mati dan di rumah
kebetulan mati listrik karena pemadaman bergilir. Ini aku bawain sayur
asemnya.” Tono menyerahkan rantang yang dibawanya.
“Kartono, gue nggak minta lo bawain, tapi bantuin gue masak.”
Tini masih sok jutek.
“Darling, ini buatanku sendiri. Dari pada aku masak di sini
dan kamu nulis, nanti kalau orang tuamu tahu gimana? nggak takut diomelin?”
“Em, iya juga sih. Lha
terus sekarang gimana? Sayurannya kan udah disiapin di dapur. Terus ngomong ke
ibu gimana?” Tini balik bertanya.
“Bilang aja sayur asem ini kiriman dari calon mantu.” Kata
Tono ringan.
Wajah Tini merona mendadak.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar