Jika ditanya tentang impian,
sepertinya aku tak pernah benar-benar memikirkannya sehingga jawabanku selalu
gelengan kepala.
“Nggak punya mimpi? Lalu apa
tujuan hidupmu?” pasti pertanyaan itu yang ada di setiap benak orang yang mendengarnya.
Sejak kecil, aku selalu bahagia
jika kedua orang tuaku tersenyum. Jadi, harapanku hanya satu. Ingin melihat
orang tuaku selalu tersenyum karenaku.
Dan pertanyaan yang ada dalam
kepalaku sendiri adalah, “Apa yang harus kulakukan?”
Jawaban kutemukan ketika
kelulusan sekolah menengah pertama. Tak pernah kuduga sebelumnya, itu prestasi
pertama untuk menjadi yang terbaik. Setelah gelisah menunggu kepulangan Bapak
untuk mengambil surat kelulusan, kudapati beliau tersenyum sumringah, lalu
menceritakan segalanya. Sejak itu, aku tahu bagaimana membuat orang tuaku
tersenyum karenaku. Yaitu, berusaha melakukan apapun untuk menjadi yang
terbaik.
Selanjutnya ketika masuk sekolah
menengah atas, aku dipertemukan dengan orang-orang hebat, yang tentu saja di bidang
akademis aku masih jauh di bawah mereka. Saat itu, aku mulai berpikir bahwa
menjadi terbaik bukan hanya dari segi akademis kependidikan. Aku akan berusaha
berprestasi melalui apa yang kugemari. Menulis.
Kudalami dunia yang kugemari ini.
Mulai dari mencari teori hingga pengalaman. Beberapa buku antologi bersama
akhirnya berhasil kukantongi. Pada pertengahan kuliah, tanpa kusangka
sebelumnya aku berhasil menerbitkan sebuah novel. Ibuku mulai mengenalkan
novelku kepada teman-temannya. Semoga hasil yang kuperoleh juga selalu
mengembangkan senyum orang tuaku.
Sekarang, di penghujung menimba
ilmu di perguruan tinggi, aku mendapat banyak pelajaran hidup, termasuk soal
masa depan. Kita tak selamanya akan bersembunyi dibalik ketiak orang tua. Akan
tiba waktunya untuk berjalan sendiri.
Ketika kutulis kalimat ini, aku
sedang menyesali banyak hal. Mengenai project novel kedua yang tak terselesaikan
karena suatu hal. Mengenai waktu terbuang sia-sia karena permasalahan tak
berarti. Mengenai “satu” harapan yang selalu kudoakan namun tak kunjung nyata. Lalu,
mengenai dua mimpi besar yang tak bisa diwujudkan semua karena kelulusanku
mundur. Dua mimpi itu adalah pilihan, dan aku harus mewujudkan salah satunya.
Demi orang-orang yang kusayang. Tahun depan aku akan mewujudkannya! Demi
mereka, demi masa depanku.
Jika masih ada yang menanyakan
apa impianku sekarang, aku tak lagi menggeleng, juga tak menjawab ingin melukis
senyum di wajah kedua orang tuaku, tetapi aku akan menyebutkan dengan jelas apa
mimpi dan harapanku. Bukankah belum terlambat untuk membulatkan hati di usia
yang ke dua puluh satu?
“Satu” harapan yang selalu
kudoakan setahun belakangan untuk disegerakan, sepertinya bukan lagi menjadi
prioritasku. Aku akan mengutamakan mimpiku yang harus kucapai di tahun depan.
Semoga “satu” harapan itu bisa terus mengiringi.
Semua yang kulalui satu tahun
ini, bahkan lima tahun belakangan bukanlah hal yang mudah. Satu selesai, satu
tumbuh. Begitu seterusnya. Sedikit demi sedikit benang merah merajut karpet.
Semakin lebar jalan menuju cahaya.
Ya, cahaya itu akan segera
kucapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar