Rasa itu datang kembali. Sebuah rasa takut akan sebuah kehilangan. Kukira ini hanyalah suatu kecemburuan semata, namun semakin lama rasa khawatir itu kian menggunung. Hingga akhirnya meledak juga.
Malam ini aku, kamu, dia, dan mereka berkumpul menjadi satu di sebuah aula besar untuk merayakan pesta perpisahan.Aku duduk satu meja dengan teman-teman yang masih sibuk meributkan busana untuk wisuda nanti, sementara kamu juga bergabung dengan teman-teman lelakimu di meja ujung yang bersebelahan dengan meja yang dia tempati bersama kawan-kawannya.
Dari jarak tak sampai tujuh meter, aku bisa dengan jelas melihatmu tertawa setelah menjahili teman di sebelahmu, aku bisa mengamati raut bahagia dari wajahmu. Semoga saja akan selalu begitu. Pesta perpisahan ini sepertinya benar-benar menjadi sebuah perpisahan untuk kita juga karena ketika wisuda nanti kita belum tentu berjumpa. Kamu yang memakai kemeja panjang yang digulung sampai siku, maafkan aku jika malam ini aku akan banyak mencuri pandang wajahmu.
Baru saja kamu meletakkan sebuah gelas kembali ke meja, seseorang duduk di bangku sebelahmu yang masih kosong. Kalian nampak serius sekali membicarakan sesuatu sambil memandang ponsel yang ditunjukkan orang itu. Ah, tiba-tiba saja hatiku terasa sesak. Aku membutuhkan oksigen lebih.
Kamu dan perempuan itu semakin akrab saja. Sudah seberapa dekatkah hubungan kalian? dulu sebelum kita bersama, kamu sudah terlebih dulu saling sapa dengannya. Kemudian ketika kita bersama dan dia dengan jelas mengetahui hubungan kita, dia tak juga benar-benar menjauh dari hari-harimu. Lalu hingga akhirnya kita berpisah, perempuan itu kembali terang-terangan mendekatimu. Eh? hanya dia yang berusaha mendekatimu atau kamu juga sebenarnya menikmati kedekatan itu?
Padahal ketika kita bersama, aku beberapa kali mengingatkan untuk tidak memberikan harapan pada perempuan manapun karena kupikir kamu adalah milikku. Kamu mengangguk. Kukira kamu benar-benar menyetujuinya. Namun pada satu hari beberapa teman mengabarkan sesuatu. Dahulu ketika kita semua sedang disibukkan oleh suatu hal dan kamu tak sempat menemuiku, mereka mengata kamu justru pergi dengan perempuan itu. Kamu tahu bagaimana perasaanku? kamu tak akan pernah tahu karena kamu tak pernah menanyakan. Semakin lama kita semakin menjauh. Aku selalu bertanya kenapa, dan jawabanmu hanya perihal ketepatan waktu. Hingga akhirnya aku mendapati ada yang baru darimu yang ternyata telah diketahui semua orang sejak lama. Saat itu aku benar-benar hancur. Aku baru menyadari sepenuhnya bahwa aku bukan lagi menjadi yang pertama bagimu. Ah, apakah aku memang pernah menjadi yang pertama dihatimu?
"Stel, mau kuambilkan minum lagi?" seorang teman mengembalikan kesadaranku.
Aku menggeleng,"Nanti aja kuambil sendiri," tolakku halus.
Musik di dalam gedung kian menggema, kali ini seorang teman menyanyikan lagu Mungkinkah di atas panggung. Lagi-lagi perhatianku kembali menuju meja di ujung sana. Lagu yang sedang berdendang mulai merasuki pikiranku. Jarak benar-benar telah memisahkan kita. Beberapa hari menahan sesak di dada dan tak jua mendapat sebuah pengakuan darimu, akhirnya kuputuskan untuk pergi. Untuk apa aku terus menjadi tempat berpulangmu sementara hanya sedikit waktu yang kamu habiskan di 'rumah'. Aku rasa kamu memang belum juga ingin berhenti berkelana. Bahkan ketika aku berpamitan, kamu hanya menyetujui tanpa banyak kata. Itu lebih menyakitkan. Sepertinya kamu begitu ringan melepas kepergianku.
Hari berikutnya setelah aku pergi, seorang teman mengatakan bahwa dia menyalahkan perempuan itu atas hancurnya hubungan kita. Katanya perempuan itu juga berniat untuk meminta maaf padaku, sayang temanku melarang. Jika saja perempuan itu benar-benar punya nyali untuk menemuiku, mungkin aku akan mengatakan, "Silahkan ambil kekasihku, yang dulu." Atau jika emosiku belum reda, aku justru akan mencabik mukanya agar dia tidak bisa lagi seenaknya memanfaatkan kecantikannya untuk menggoda lelaki. Ah, maaf, aku hanya bercanda. Aku tak sejahat itu kok.
Kamu yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidupku, tiba-tiba saja menjadi mimpi burukku. Untuk kali pertama aku merasakan begitu hancur dan mengenal kosa kata baru, yakni membenci. Aku sendiri tak menyangka hatiku bisa sejauh ini.
Perlu banyak waktu untukku menata hati hembali, bahkan aku menjauh dari semua teman lelaki yang ingin mendekat, mungkin ini semacam trauma. Setelah kita tak lagi bersama, aku banyak mendengar kamu bersama perempuan-perempuan lain lagi. Aku tak ingin tahu apapun tentangmu, tetapi mereka yang selalu memberitahuku. Aku hanya berharap dengan siapapun kamu sekarang, kamu harus bisa setia dan tidak memberi harapan kosong pada yang lain.
Tawamu telah berhenti beberapa saat lalu, kuaamati kini kamu sedang sibuk mengetik sesuatu di ponsel besarmu. Sedang berkirim pesan dengan siapa sekarang? apakah kamu sedang dekat dengan perempuan lagi selain perempuan penggoda yang tadi sempat duduk di sampingmu?
Bicara soal pesan singkat, setelah kita memutuskan untuk berpisah, terkadang kamu menghubungiku lalu menyapa dengan sapaan seperti yang kadang dulu kamu ucapkan. Sejujurnya aku marah setiap kali membaca pesanmu itu. Untuk apa masih bersikap seperti itu setelah semua berakhir? bahkan sempat terlintas "Apakah kamu juga melakukan hal yang sama kepada mantan kekasihmu dulu ketika kamu sudah menjalin hubungan denganku?" Aku menjadi selalu bersikap negatif terhadapmu. Maaf.
Beberapa waktu lalu aku menyadari sesuatu. Selama ini aku terus terusan merasa benci denganmu dan perempuan yang selalu ada di sekitarku. Ternyata aku salah mengira atas perasaanku sendiri. Aku juga bukan kecewa denganmu, melainkan kecewa dengan diriku sendiri. Aku secara tidak sadar dulu telah melukiskan namamu secara perlahan dan semakin lama ukirannya semakin dalam dan tajam, sehingga ketika aku kehilanganmu, aku tak mampu untuk menghapus namamu yang sudah terlanjur menancap di hatiku.
Sekarang, aku tak lagi berusaha untuk menghapus namamu. Aku akan membiarkannya. Bukan karena aku mengharapkanmu kembali, tetapi aku ingin melanjutkan hidupku tanpa harus berfikir bagaimana caranya melupakanmu. Kemarin kamu bahkan mengingatkanku dalam pesan singkatmu bahwa kamu akan selalu disampingku. Aku memang tak terlalu memikirkan kalimatmu itu, aku takut menjadi mengharapkanmu lagi. Hanya saja, ketika tiba-tiba kamu mengatakan itu, hatiku sedikit tergelitik, ternyata masih ada yang kamu ingat dari ucapanmu untukku dulu. Kebersamaan kita yang hanya sebentar tetaplah menjadi pengalaman lebih untuk kita, setidaknya kita menjadi lebih tahu tentang diri masing-masing. Selanjutnya, biarlah apa pernah terukir menjadi sebuah kenangan. Terima kasih untuk semua cinta dan luka yang pernah kamu berikan.
Semakin malam suasana ruangan menjadi riuh. Tanpa kusadari ternyata musik telah berubah mengiringi lagu-lagu yang ngebit. Sudah banyak teman lelaki yang berkumpul di depan panggung sambil lompat-lompat menyanyi bersama. Dan kamu, kamu tetap di posisi dudukmu. Selalu membuat perempuan mana saja penasaran dengan sikap dinginmu itu, tentu saja selain aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar