Jika
ditanya siapa orang paling aku aku cintai di dunia ini, jawabanku selalu sama.
Ibuku. Mengapa? Beliau adalah orang yang pertama mengenalkanku pada dunia.
Beliau menceritakan kasih sayangnya bahkan sebelum aku hadir di kehidupan yang
sangat sibuk ini.
Ibuku
pahlawanku. Itu menurutku. Beliau merupakan orang paling berperan dalam hidupku
dan kurasa sampai akhir hayatku nanti.
Sembilan
bulan aku berada di ruang yang istimewa dalam raga ibu. Beliau membawaku
kemanapun akan pergi walau tubuh terasa berat, meski pinggang terkadang nyeri
menahan beban. Cinta dan kasih terus mengalir dari hatinya.
Pengorbanan
terbesar untukku adalah ketika aku harus keluar dari rahim. Beliau rela
mempertaruhkan nyawa demi melahirkanku ke dunia yang fana ini. Tegang, sakit,
takut dan kekhawatiran saat menanti kedatanganku segera terbayar saat beliau
mendengar sebuah tangisan nyaring bayi mungil yang baru saja keluar dari
rahimnya. Bahagia yang tak akan pernah bisa teruraikan dengan barisan kata.
Peran
besar beliau tak hanya sampai disitu. Ibu rela bangun hanya untuk menenangkanku
yang menangis saat tengah malam. Menanggapi dengan sabar pertanyaan yang sama
yang kulontarkan setiap lima menit sekali. Tak lelah memujukku untuk makan
disaat kusedang tak berselera. Dan banyak lagi.
Ada satu kisah yang tak
pernah hilang dari memori ingatanku. Sebuah peristiwa di bangku kelas 12
semester kedua. Waktu yang begitu sibuk untuk persiapan Ujian Nasional dan pendaftaran
ke perguruan tinggi.
Hari itu aku
mengumpulkan akumulasi nilai raportku ke ruang BP untuk persyaratan pendaftaran
SNMPTN jalur undangan. Di ruang BP semua anak membicarakan berapa
nilai-nilainya. Saat itu aku merasa minder, nilaiku dibawah teman-temanku
semua. Aku ingin mundur. Aku merasa sudah kalah sebelum bertanding. Tak tahan
berlama-lama di ruang BP, aku mengajak temanku untuk pulang karena jam
pelajaran juga telah berakhir.
Sepanjang perjalanan
pulang, kelopak mataku menghangat. Ingin rasanya cepat sampai rumah. Aku selalu
terbayang nilaiku yang tak begitu memuaskan. Menyesali mengapa aku tak pernah
mendengarkan ucapan ibu yang selalu membujukku untuk rajin belajar. Sia-sia
sekolah di SMA favorit jika nantinya tak bisa menembus perguruan tinggi negeri
yang bagus.
Benar saja, sesampai di
rumah aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Tak peduli dengan sapaan Ayah
yang sedang duduk di ruang tengah. Kutumpahkan butiran-butiran kristal bening
dari mataku. Emosi perasaanku begitu dalam. Sebenarnya itu hal biasa namun entah mengapa aku begitu
memikirkannya.
Malam harinya ketika
semua orang berada di rumah aku menceritakan apa yang terjadi. lagi-lagi hujan
membanjiri pipiku. Aku berbaring telungkup di pangkuan ibu, menutupi
kecengenganku. Beliau membelai lembut rambut hitamku. Memberiku semangat, terus
memotivasiku.
“Semua belum terjadi
sayang, masih ada waktu. Kalaupun belum bisa menembus jalur itu, masih banyak
jalan lain. Kamu ingat saat kelulusan SMP? Sejak kelas satu kamu belum pernah
mendapat peringkat pertama. Dan lihat hasil akhirmu? Kita semua tak menyangka
kamu berhasil menjadi yang terbaik. Semoga nanti akan kembali terulang. Teruslah
optimis sayang, Tuhan itu Maha Tahu dan Adil...”
Dalam diam, kururan air
mataku semakin deras. Aku malu selama ini belum bisa menebus semua pengorbanan,
kesabaran dan perjuangan orangtuaku. Ya! Sebelum terlambat aku harus melakukan
sesuatu.
Tiga bulan setelah
pendaftaran, aku mendapatkan hasilnya. Sangat mengejutkan. Dengan nilai yang
tak terlalu tinggi aku berhasil masuk perguruan tinggi negeri seperti mimpiku
dan harapan ibuku. Sungguh tak terduga. Aku sangat bersyukur dengan apa yang
kudapat. Aku yakin semua hasil yang kuperoleh itu berkat dukungan besar dari
keluarga dan sahabat, terutama ibu dan ayah.
Aku terharu melihat ibu
mengeluarkan air mata saat mengetahui aku berhasil. Sungguh, saat itu aku
sangat senang. Itu artinya aku mulai bisa membuat ibu bangga. Akan kuusahakan
lagi dan lagi.
Bagiku, ibu tak akan
pernah terganti. Karena beliau, aku hadir di dunia. Karena beliau, aku
tersenyum. Karena beliau, aku berilmu. Karena beliau, aku berhasil.
Sosok istimewa lain adalah Ayah. Terimakasih segala perjuangan dan pengorbananmu untuk merawat dan menghidupiku hingga kini....
Sebuah cinta yang tak
pernah lekang oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar