Kulirik jam bentuk segi enam yang
terpasang di dinding sebelah pintu. Ah, ternyata sudah tengah siang, pantas
saja kerongkonganku sudah kering. Aku beranjak dari kursi kerjaku nan empuk dan
berniat membuat jus melon di dapur.
Baru saja keluar ruang kerja, bel
pintu rumah berdenting, sepertinya hari ini aku tak ada janji dengan siapapun.
Langkah pun berbelok menuju ruang tamu dan segera membuka pintu setelah kuputar
kunci yang tergantung di daun pintu.
“Selamat siang Mbak Nabila…” Sapa
seorang bapak yang ada dihadapanku.
“Eh Pak Maman, selamat siang.
Mari silakan masuk.” Sambutku ramah pada Pak RT.
“Terima kasih mbak, saya cuma mau
menyampaikan undangan saja. Ini.” Beliau menyerahkan sepucuk undangan berwarna
merah marun.
“Oh, terima kasih Pak.” Terimaku tanpa
berniat segera membuka undangan tersebut.
“Baiklah, saya langsung pamit
saja. Permisi mbak.”
Aku hanya membalas anggukan dan
senyum lebar. Setelah beliau keluar gerbang rumahku, baru ku tutup pintu.
Kartu undangan itu kuletakkan di
meja ruang tengah dan aku langsung menuju dapur untuk membuat jus yang tertunda
sebentar. Lima menit cukup untuk mengubah potongan melon dingin dari kulkas
menjadi hidangan segar di dalam gelas.
Aku kembali ke ruang tengah
dengan gelas yang isinya tersisa setengahnya. Siang ini cuaca memang sangat
panas.
Kuraih undangan yang baru
kuterima. Siapa yang menikah? Segera kubuka plastik pelindungnya.
“Romi dan Melissa.” Aku terdiam
sesaat. “Astaga! Romi mau nikah?”
Entahlah, mataku mendadak hangat.
Jantungpun berdetak tak karuan. Bila ditanya kenapa? Aku pun tak mampu
menjawabnya. Ini terlalu mengejutkan dan… sakit.
Lima tahun. Ya lima tahun
menunggu tanpa kepastian, dan inilah jawabannya. Betapa bodohnya aku selama ini
mengharapkan orang yang salah. Mengharapkan dia yang tak memiliki perasaan yang
sama denganku. Mengharap bisa bersatu dengan orang yang tak pernah memiliki
kedekatan apapun selama ini denganku.
Bodoh sekali. Sepertinya aku memang wanita usia dua puluh dua tahun yang
paling bodoh di dunia ini.
Sendi-sendi tungkai terasa begitu
ngilu untuk menapak. Kupaksakan langkah menuju kamar yang hanya berjarak lima
meter. Langsung kujatuhkan tubuh pada ranjang empuk yang anehnya kini terasa
keras hingga punggungku sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar