Mamberamo. Di sinilah aku
sekarang. Sebuah daerah terpencil di pedalaman Papua. Sebuah wilayah yang
takkan muncul di google map atau bahkan atlas. Berdasarkan garis lintang dan
garis bujur, tentu pada titik yang kumaksud hanya tampak warna hijau. Tempatku
berpijak kini tepatnya berada di Mamberamo Ulu. Kecamatan ini memang hanya perkampungan diantara hutan dan
sungai besar. Bahkan untuk menuju wilayah kabupaten harus menempuh perjalanan
enam jam menggunakan speedboat.
“Bu guru Luna, mari kita
berangkat!” teriak suara melengking anak perempuan dari luar kelas.
“Iya, sebentar.” Aku buru-buru
membereskan hasil ulangan siswa dan segera berlari ke luar kelas.
“Ayo bu guru, aku sudah tidak
sabar mau berenang di air terjun,” tangan-tangan kecil menggamit kedua tanganku
dan berjalan riang di samping kanan - kiriku.
“Bu guru juga ingin sekali
melihatnya, apa benar cerita yang selalu dikatakan oleh Bertus kalau air terjun itu sangat indah
ataukah hanya imajinasinya saja,” sahutku sambil bergurau.
“Benar bu guru, aku tak pernah
berbohong,” bela Bertus yang berjalan bersama ke tiga temannya di depanku.
Baru beberapa langkah dari rumah terakhir yang kami lewati, pepohonan tinggi mulai menyapa. Sebenarnya sedikit khawatir akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena kami memasuki wilayah hutan lebat tanpa ada lelaki dewasa yang mendampingi. Namun kembali teringat ucapan ibu angkatku di sini bahwa anak-anak di Mamberamo sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari bahan makanan atau sekedar mengumpulkan kayu bakar. Beliau juga meyakinkanku bahwa hutan yang masih berada di dekat pemukiman itu sudah tidak ada hewan buas yang mengancam, jadi aman jika masuk ke dalam hutan.
Kupandangi kepala anak-anak yang berjalan di depanku. Bahagia rasanya bisa berada di tengah-tengah para malaikat kecil yang selalu menebar senyum semangat setiap harinya. Belum genap sebulan mengenal mereka, keakraban yang terjalin diantara kami sudah begitu erat. Mereka yang awalnya malu-malu, kini mulai mau mendekat bahkan memelukku. Mereka yang semula tak berminat bersekolah, kini justru berangkat dengan semangat. Inilah salah satu bentuk pengabdianku hingga satu tahun ke depan di daerah yang belum tersentuh listrik ini.
Kupandangi kepala anak-anak yang berjalan di depanku. Bahagia rasanya bisa berada di tengah-tengah para malaikat kecil yang selalu menebar senyum semangat setiap harinya. Belum genap sebulan mengenal mereka, keakraban yang terjalin diantara kami sudah begitu erat. Mereka yang awalnya malu-malu, kini mulai mau mendekat bahkan memelukku. Mereka yang semula tak berminat bersekolah, kini justru berangkat dengan semangat. Inilah salah satu bentuk pengabdianku hingga satu tahun ke depan di daerah yang belum tersentuh listrik ini.
“Bertus, masih jauhkah?” tanyaku
setelah menyusuri jalan setapak kurang lebih sejauh dua kilo meter.
“Sebentar lagi bu guru, setelah
kita melewati sungai kecil di depan itu,” Bertus menunjuk sebuah sungai yang
jaraknya kurang lebih setengah kilo dari tempat kita beristirahat sekarang.
Aku mendongakkan kepala. Pohon tempatku
bersandar benjulang begitu tinggi. Itu hanya satu diantara jutaan pohon yang
tertanam di tanah pijakanku kini. Sinar matahari bahkan hanya mampu menembus
sedikit di celah-celah dahan pohon. Kupejamkan mata sebentar lalu kuambil napas
perlahan. Sejuk. Damai.
“Bu guru, bu guru, lihat kita
bisa melihat gunung dari sini,” seru Raema sambil menggoyangkan bahuku.
Aku membuka mata dan mengikuti
kemana tangan kanan Raema menunjuk. Subhanallah,
itu gunung Jaya Wijaya.
“Bu guru, aku ingin ke sana. Apakah
suatu hari nanti kita bisa dampai di puncak gunung itu?” Elia yang duduk di
samping Raema mengeluarkan suara.
“Tentu saja bisa, kalau kalian
sudah besar dan punya tenaga yang kuat pasti mampu mencapai puncak gunung tertinggi
di Indonesia itu!” Jelasku bersemangat.
“Suatu saat kita harus mencapai
puncak gunung itu kemudian berteriak ‘aku cinta Papua’,” teriak Titus lantang sambil
berdiri dan mengangkat tangannya yang mengepal.
Melihat ekspresi Titus seperti
itu, aku jadi ingat seseorang. Seseorang yang pernah mengajari arti sebuah
perjalanan. Seseorang yang pertama kali menggandeng tanganku menuju puncak
salah satu gunung tertingi di pulau Jawa. Ekspresinya begitu mirip dengan
Titus, juga kata-kata yang diucapkannya.
“Aku cinta Indonesia! Aku cinta
Luna!”
Hatiku begitu haru mendengar
ungkapannya yang diteriakkan dengan lantang. Di ketinggian 3.428 Mdpl itu dia menyatakan
perasaannya. “Luna, terima kasih telah menemaniku menuju puncak tertinggi
gunung Slamet ini,” lanjutnya lagi-lagi membuatku benar-benar di atas awan.
Sayang beribu sayang ternyata
kisah yang dibangun di tempat tertinggi itu tak mampu bertahan ditimpa angin
yang terus meniup menggoncang keyakinan hati. Belum sempat menempuh pendakian
kedua, hubungan kami telah memudar. Angin telah meniupkan hatinya menuju kuncup
bunga yang lain. Tak apa. Tuhan selalu memberi jalan terbaik, mungkin beginilah
takdirnya.
“Bu guru, teman-teman ayo kita
lanjutkan perjalanannya,” ajak Titus sambil beranjak dari duduknya.
Aku kembali tersadar. Kini mimpiku
adalah membangun impian anak-anak di depanku ini, bukan lagi memikirkan lelaki
yang kini entah di mana dan bersama siapa. Ketika aku akan berdiri tiba-tiba
ada sesuatu yang melewati punggung kakiku. Bergerak.
“Huaaa!” teriakku kencang karena
terkejut sekaligus takut.
“Bu guru jangan lari, nanti
ularnya justru akan melilit!” Bertus memberi peringatan.
Aku menurut. Persendian lututku
mulai lemas. Ular adalah binatang yang paling kutakuti. Aku mengalami trauma
masa kecil karena hampir digigit ular.
Bertus mengambil sebuah ranting
pohon kemudian mendekatkannya ke kepala ular. Selanjutnya aku tak tahu apa yang
dia lakukan karena aku menutup mata untuk mengontrol diriku agar tak sampai pinsan.
“Bu guru, ularnya sudah pergi. Ibu
tak apa-apa kan?”
Aku membuka mata. Kupandangi satu
per satu wajah di depanku. Mereka semua menampakkan wajah khawatir. Kemudian aku
tersenyum demi menenangkan mereka. Aku yakin mereka pasti mencemaskanku yang
memang sudah tahu sangat takut dengan binatang melata itu.
“Ibu tidak apa-apa, terimakasih
Bertus sudah menolong,” kuusap pelan kepala Bertus. Bocah kelas empat itu
tersenyum malu-malu.
Kemudian kami melanjutkan
perjalanan yang tinggal sebentar lagi. Tak lama, kami sudah sampai di tepi sungai
kecil yang ditunjukkan Bertus tadi.
“Ayo bu guru, kami akan memegang
tangan bu guru agar tidak terjatuh,” ucap Raema, siswa kelas enam sekaligus siswa yang paling tua
dalam perjalanan kami kali ini.
Aku tersentuh dengan kalimat
Raema. Begitu tulusnya kasih mereka terhadap gurunya meski baru mengajar satu
bulan.
Kupegang erat tangan Raema dan
Bertus yang sengaja memposisikan di kanan-kiriku. Sungai selebar hampir lima
meter yang airnya cukup deras dan dasarnya bebatuan licin. Hampir saja aku
terjatuh jika tidak dipegang oleh mereka berdua. Rasanya malu sekali pada
mereka semua. Harusnya sebagai guru aku bisa melindungi mereka, bukan
sebaliknya. Selama ini aku berada di kota yang semuanya berjalan begitu mudah. Kini,
di daerah pedalaman Papua ini semuanya perlu perjuangan. Aku juga akan berusaha
berjuang demi membantu mewujudkan cita-cita mereka sebagai generasi penerus
bangsa.
“Kita sudah sampai!” Elia dengan
suara melengkingnya terdengar begitu takjub melihat keindahan air yang terjun
dari ketinggian puluhan meter.
#KampusFiksi #CeritaHutan #AlamLiar
Bahasanya ngalir. Asik bacanya.
BalasHapusMakasih kakak cantik, udah baca tulisanku :)
Hapus