Aku tersentak.
Kulihat jam dinding yang tertempel pada bilik kamar menunjuk angka satu. Masih
tengah malam. Tanpa terasa keringat dingin mengucur dari pori-pori kulit
wajahku. Aku meringkuk. Tanganku gemetar merengkuh kedua kakiku. Aku takut.
Aku
menoleh wanita separuh baya yang terbaring di samping kananku. Masih terlelap
dalam tidurnya. Raut wajah yang
mulai keriput menampakkan keletihan.
“Bu,
Tita mimpi ayah lagi...” ucapku
berbisik di depan wajah beliau.
Sudah
seminggu terakhir aku selalu memimpikan Ayah. Tak tahu pasti dimana lokasinya.
Kadang melihat ayah sedang menatap kosong. Melihat ayah duduk sendiri di tengah
keramaian. Melihat ayah hampir tertabrak mobil ketika sedang menyebrang. Dan
mimpi terburuk adalah malam ini. Aku tak sanggup untuk membayangkannya lagi. Ayah, Tita kangen. Tita nggak mau mimpi-mimpi buruk tentang Ayah lagi. Semoga
ayah baik-baik saja di sana ya...
***
“Tita,
ayo bangun, katanya pagi ini ada ulangan.” Ibu menepuk bahuku.
Sayup-sayup
kubuka mata. Kupulihkan kesadaran. Ah, ibu selalu mengertiku. Beliau tak pernah
lupa untuk mengingatkanku dalam hal apapun.
Jam
dinding menunjuk angka empat dan itu artinya aku baru tidur lagi dua jam lalu.
Walaupun mata masih terasa berat, kuusahakan untuk terbangun dan belajar. Aku
tak akan membuat kecewa ibu dengan nilaiku yang tak sempurna.
Ketika
berangkat sekolah, ibu sudah berangkat ke pasar. Beliau bekerja sebagai
pedagang sayur. Bermodalkan
tanah belakang rumah seluas 7 x 10 meter, ibu menanami sebagian tanah dengan
palawija dan sebagian lagi dengan aneka sayuran, seperti kangkung, bayam dan
lobak. Ladang kecil itu dikelilingi pohon singkong yang mulai menjulang tinggi.
Sejak
tak ada kabar dari ayah, ibu yang
bertanggung jawab menjadi tulang punggung
keluarga. Beliau banting tulang menghidupi kehidupan kami, terutama sekolahku.
Pagi ini bis penuh dengan anak-anak berangkat
sekolah, orang yang mau kerja juga pedagang asongan. Meskipun harus berdesakan
setiap pagi, aku tak keberatan. Semua tak akan sia-sia demi masa depanku.
Dimana akan kucari
Aku menangis seorang
diri
Hatiku ingin slalu
bertemu
Untukmu aku bernyanyi...
Tanpa
terasa pelupuk mataku menghangat. Dendangan lagu yang dinyanyikan seorang
pengamen berhasil membuatku terhanyut. Lagu paling tepat saat ini untukku mungkin
lagu Ayah yang pernah dinyanyikan oleh band Peterpan sebelum berganti nama menjadi Noah.
Lagi-lagi mimpi itu kembali membayangiku. Aku takut sesuatu sedang terjadi
dengan Ayah.
Sesampai di sekolah, aku tak bisa
konsentrasi mengerjakan ulangan. Bayangan Ayah terus mengelilingi pikiranku.
Cepat-cepat aku menyelesaikan ulanganku. Tak peduli lagi dengan hasilnya nanti.
Maaf bu, Tita kali ini mungkin akan mengecewakan.
Setelah
mengumpulkan lembar jawabku, aku langsung menuju perpustakaan. Di sanalah
tempat paling nyaman untuk menenangkan diri. Menuliskan segala kegundahan dalam hati. Dengan
nafas sedikit sesak, aku mulai menulis.
Ayah, apa kau baik-baik saja?
Ayah, Tita sangat merindukanmu yah.
Sudah empat tahun ayah pergi. Meninggalkan Tita, ibu dan kak Abi. Ayah selalu
mengirim uang setiap bulan di tahun pertama, tapi di tahun kedua hingga kini,
ayah tak lagi mengirim biaya hidup untuk kami. Bahkan sepucuk surat pun tak
pernah kami terima
darimu.
Ada yang bilang ayah sudah menikah
lagi dengan orang kota. Itu tidak benar kan? aku
percaya ayah
sangat mencintai kami, terutama ibu. Ayah tak mungkin menghianati kami kan? ayah pergi untuk
bekerja. Mencari nafkah untuk kehidupan kami sekeluarga. Ayah juga telah
berjanji jika penghasilannya terkumpul banyak, ayah akan menyekolahkanku hingga
perguruan tinggi. Aku menantinya yah. Aku sekarang masih SMP.
Ada pula orang yang mengatakan bahwa
ayah meninggal di kota karena guna-guna. Aku sangat tak mempercayai ini. Ayah
adalah orang yang baik, disukai banyak orang. Ayah tak punya musuh dan tak
mungkin ada orang jahat yang tega memperlakukan ayah seperti itu. Tiga tahun
tanpa kabar bukannya tanpa alasan. Mungkin ayah terlalu sibuk mengurusi
pekerjaannya hingga tak sempat untuk menghubungi kami, keluarganya.
Tak
dapat kutahan lagi genangan air mata yang telah memenuhi kantung mata. Akhirnya
kutumpahkan semua. Pipi kembali lembab. Ini air mata yang keluar kesekian
kalinya untuk ayah. Aku selalu berharap semua kristal bening ini tak pernah
habis sampai aku menangis bahagia atas kepulangan ayah.
Ayah, Tita nggak mau kehilangan lagi.
Mungkin ayah belum tahu kalau kak Abi telah pergi. Dia pergi satu tahun lalu
ketika akan menjemput ibu ke pasar. Tita sedih yah. Tita belum bisa
membahagiakan kak Abi. Tahun itu kak Abi baru saja lulus SMA. Dia ingin sekali
meneruskan ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan Sastra Inggris. Kak Abi sangat
mahir bicara bahasa Inggris
yah. Tapi ayah tahu bagaimana keadaan keluarga ini. Kak Abi lebih memilih
membantu ibu berkebun dan mengajar les bahasa inggris untuk anak SD. Aku selalu bangga melihat
semangatnya.
Sayang sekali ada mobil tak
bertanggung jawab menabrak kak Abi saat kakak akan menjemput ibu di pasar
menggunakan sepeda onthel. Setelah melihat kak Abi
tergeletak tak berdaya, pengendara mobil langsung melarikan diri.
Kakak menghembuskan nafas
terakhirnya saat perjalanan menuju rumah sakit. Aku yang dikabari saat di
sekolah, langsung shock. Rasa gelisahku sejak pagi terjawab sudah. Ternyata itu
sebuah pertanda. Aku tak sanggup menerimanya. Beberapa hari setelah kepergiannya,
aku seperti orang linglung. Kehilangan semangat
hidup. Aku tak sanggup melihat ibu harus berjuang banting tulang sendirian.
Dalam setiap doaku, aku selalu berharap ayah akan kembali. Menopang keluarga
ini lagi.
Ayah, kak Abi selalu menenangkan hatiku
saat aku sedang merindukanmu.
Kakak tak pernah lupa untuk menghapus air mataku ini. Dekapan hangat selalu
membuatku tegar. Percaya ayah akan kembali.
Kulihat ibu begitu tabah menerima
kepergian kak Abi. Beliau hanya menangis saat di pemakaman. Selanjutnya aku tak
pernah melihat lagi air matanya.
Ayah, sampai kapan aku terus
menanti? Aku tak mau kejadian kak Abi terulang kembali. Ayah, aku selalu
terbayang wajahmu. Aku ingat ketika ayah menggendongku di taman bermain. Saat
itu aku terjatuh dari ayunan. Ayah begitu lihai menghiburku dari rasa sakit
yang kurasa. Ayah mengusap pipiku yang telah basah air mata. Aku tak akan
pernah melupakannya yah.
***
Bel
masuk telah berdendang. Aku kembali ke kelas dengan membawa catatan harianku.
Berapa teman menanyakan sikapku yang berbeda, katanya hari ini aku sangat
murung dan pendiam. Senyuman kulempar pada mereka. Aku menyatakan kalau aku
baik-baik saja.
Sekarang
pelajaran seni musik. Guru muda nan cantik itu memberi contoh cara menyanyi menggunakan teknik.
Beliau menyanyikan lagu yang membuat hatiku ngilu. Untuk kedua kalinya hari ini
aku mendengar lagu yang ‘aku’ banget.
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di
pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Suaranya
penuh penghayatan. Seisi kelas terdiam memperhatikan. Beberapa siswa menangis
haru. Aku pun tak luput dari bayang ayah. Air mata kini benar-benar ada di
pipiku. Seperti lirik lagu itu. Untuk kesekian kalinya aku mengungkap rindu
padamu.
Kata
Bu Guru, seorang penyanyi dinyatakan berhasil jika penonton bisa terbawa emosi
isi lagu tersebut. Dan ternyata Bu Guru berhasil.
Sepulang
sekolah aku langsung pergi ke rumah Silla, teman sekelasku. Kami akan
mengerjakan tugas matematika bersama. Aku selalu senang berteman dengannya.
Silla anak yang ramah dan baik. Orang tuanya yang bekerja sebagai pegawai negeri tidak
membuatnya sombong dan pilih-pilih teman. Aku bahagia dia selalu mengajakku
untuk belajar bersama di rumahnya. Biasanya kami belajar di ruang tengah, dan
di situ ada televisi yang menyala terus. Aku agak heran mengapa mereka tidak
sayang menggunakan listrik yang tak penting. Tapi ada untungnya juga, aku bisa
sesekali menonton acara televisi yang tak pernah dapat kunikmati di rumah. Ah,
aku tak pernah bermimpi memiliki televisi. Bisa makan dan membayar biaya sekolah
pun aku sudah sangat bersyukur.
Siang
itu televisi sedang menayangkan siaran berita. Ternyata Indonesia sering masih sekali terjadi bencana.
Dalam satu hari ada kejadian kebakaran
hingga maupun kesulitan air bersih. Berita politik pun tak
pernah luput dari pemberitaan. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih
tumbuh subur di negeri ini. Sungguh miris bila terus memperhatikan peristiwa
demi peristiwa yang terjadi. Ah, aku tak akan terlalu memikirkannya. Itu urusan
orang dewasa.
Selesai
mengerjakan tugas, aku bersiap pamit pulang. Kulirik sekilas televisi yang
sedang menayangkan tentang kecelakaan. Aku ingin memperhatikan sebentar.
Kudengar pembawa berita menjelaskan peristiwa kecelakaan.
“Kecelakaan
juga terjadi di salah satu stasiun di Jakarta. Seorang lelaki yang sedang
berjalan di tengah rel kereta api tak menyadari ada kereta yang melaju dengan
cepat dari arah belakangnya. Masinis berkali-kali membunyikan sirine tapi
lelaki itu tak kunjung menghindar. Alhasil, tabrakan pun terjadi. Lelaki yang
belum diketahui identitasnya itu tewas seketika. Tubuhnya terpental hingga
sepuluh meter...”
Tanpa
terasa lagi-lagi aku mengeluarkan air mata. Terkadang aku benci diriku yang
cengeng dan begitu mudah menangis. Tapi sungguh, perasaan ini seperti pada saat
aku menerima kabar kematian kak Abi. Mataku begitu jeli memperhatikan tayangan
itu. Pakaian yang sama, tanpa alas kaki, membawa satu tas punggung hitam. Sama
persis seperti mimpiku semalam. Mimpi terburuk yang pernah kualami. Hal yang
selama ini kutakutkan kini terjadi juga. Meskipun lelaki itu diberitakan tak
diketahui identitasnya dan tubuhnya berlumuran darah, aku bisa mengenali wajah
itu. Wajah yang terus ada dalam benakku selama bertahun-tahun. Wajah yang
selalu mengisyaratkan ketegaran dan kebijaksanaan. Aku merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.
Segera
aku berpamitan kepada Silla. Langkahku lemas. Sendi-sendi tulangku seperti
lumpuh. Dan ketika melangkah keluar dari pintu rumah Silla, tubuhku terhuyung.
Gelap seketika.
#Ayah #NulisBarengAlumni @KampusFiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar