Prang!
Suara
benda pecah kembali terdengar. Sudah bisa dipastikan itu pertanda perang akan
di mulai. Ada apa lagi ini?
“Mau kemana keluar tengah malam begini? menyusul pelacurmu
yang sedang sekarat di rumah sakit?” teriak seorang perempuan terdengar begitu
jelas.
“Jangan pernah menyebutnya pelacur, Merli. Dia punya nama,
Kinanti!” suara bariton terdengar tak kalah keras. “Oh ya, urus saja anakmu
yang tidak berguna,” lanjutnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibanting.
Anak tak berguna? Iya aku tahu siapa yang dimaksudnya. Siapa lagi kalau bukan
aku, seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang sama sekali tak berguna,
bahkan hanya untuk mengurus diri sendiri pun tak mampu. Apa lagi yang mau di
harapkan dari gadis yang hanya terbaring di atas kasur dan terisolasi dalam
sebuah ruangan berdinding ungu gelap selama berbulan-bulan?
“Non
Maura…”
Aku
kembali tersadar, ada seseorang yang sedang duduk di sampingku dengan mangkuk
di tangan kiri dan tangan kanannya memegang sendok. Sendok itu ia letakkan di
mangkuk. Perlahan tangannya mendekatiku. Tangan keriput itu mengusap pipiku
yang basah.
“Apapun
yang terjadi, ada mbok di sini, non Maura jangan sedih lagi ya,” perempuan yang
sudah kuanggap nenekku menatap dengan penuh kasih, juga nelangsa.
Mbok
benar, hanya dia satu-satunya orang yang masih peduli denganku. Sejak peristiwa
“itu”, satu per satu orang yang kusayangi pergi menjauh. Aku tak mengerti
dengan jalan pikiran mereka yang berubah 180 derajat. Dulu mereka selalu
menyanjungku atas segala prestasi yang kuraih, tapi sekarang? Sekedar
menyapapun tak pernah. Mereka menganggapku sudah mati. Ah, mengapa tak sekalian
mati saja biar tak memupukkan rasa sakit yang terus bertambah?
Aku
mampu mendengar. Aku mampu merasa. Aku tahu semuanya hanya karena mendengar.
Mereka bebas mengata apapun karena mereka tak tahu aku masih mampu mendengar.
Lagi-lagi, hanya Mbok yang mengertiku. Beliau tak pernah berhenti cerita meski
aku tak merespon apapun. Beliau selalu sabar menyuapi bubur sedikit demi
sedikit selama berbulan-bulan tanpa pernah mendengarku mengucap terima kasih.
Hanya beliau yang paham ketika perasaanku sedang hancur, hampir setiap hari.
Aku
terperangkap di ruangan ini karena kesalahan seseorang. Seseorang yang buta
karena cinta. Ya, cinta telah membuatnya buta. Dihalalkannya segala cara demi
mendapatkan seseorang yang dicintainya hingga tega melukai orang lain,
melumpuhkan sahabatnya sendiri.
Di
balik dinding ini aku akhirnya mengetahui bagaimana keluargaku sebenarnya. Ayah
punya wanita simpanan sejak beberapa tahun lalu dan ternyata dia malu melihat
anak kandungnya menjadi mayat hidup. Kemudian bunda. Bunda diam-diam masih
merokok, sesekali kucium aroma asap ketika mendekatiku. Bunda tak tahu kalau
indra penciumanku masih berfungsi. Di balik dinding ini aku tahu bahwa tak
semua orang dapat kupercaya, bahkan sahabat yang sudah bersama hingga lima
tahun. Di balik dinding ini akhirnya kutemukan kebenaran siapa yang tulus
mencintaiku. Lelaki yang dulu selalu mengejarku dan mengucap sumpah mati cinta
padaku, hanya omong kosong belaka. Aku menjadi begini juga karena dia,
tega-teganya dia meninggalkanku begitu saja. sekali lagi, hanya satu orang yang
mencintaiku, Mbok. Bukan Bunda, Ayah, atau bahkan lelaki penghianat itu. Aku
lelah, di balik dinding ini setiap hari kudengar pertengkaran yang tak kunjung
usai. Di balik dinding ini dunia masih membahana. Dan di balik dinding ini aku
kesepian.
Begitu mudahkah seseorang untuk berhianat?
#NulisBarengAlumni @KampusFiksi
Sepertinya ini lebih ke cuplikan novel ya >,<
Aku cukup enjoy bacanya, cuma spacing di blog ini kok antar paragrafnya dekat banget ya? Jadi agak mumet gitu bacanya. Karena dempet2 hehehe
BalasHapusMbak Mala,
BalasHapusmakasih ya udah mampir :)
iya ini aku langsung nulis di blognya jadi pengaturan spasinya kurang teliti, selesai langsung posting hehe.
Oke kuperbaiki. makasih sarannya :D