Hai Tuan, apa kabarnya?
Mungkin kau baik-baik saja di sana.
Tapi kutahu, aku tak baik-baik saja di sini.
Mungkin kau tak tahu apa yang terjadi denganku sepanjang kepergianmu ratusan hari silam. Ribuan jam selepas menghilangnya kamu dari pandanganku, aku tak kuasa untuk menggenggam kerinduan. aku tak yakin kau akan datang kembali.
Ribuan jam setelahnya, aku mencoba membuka jalan untuk yang ingin mendekat. Setengah hati, mungkin tak apa. Aku tak peduli bagaimana caranya menghapus jejakmu di hati ini. Pada akhirnya aku menyadari imbasnya begitu fatal. Hati membeku dan pikiran mengeras.
Banyak telapak kaki melangkah pada jalan yang kubuat. Banyak pula lelah yang kudapat. Tak kunjung kutemukan kedamaian dalam dada. Dengan kerasnya namamu tak mau terhapus oleh waktu. Aku putus asa terjebak oleh perangkap ketidakpastianmu dalam kurun yang tak sebentar.
Kemarin. Ya, kemarin ketika peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Kurasa hari itu juga kemerdekaan hatiku. Setelah ratusan hari kau pergi, tiba-tiba muncul di depan mata. Wajahku menghangat, sementara tangan dan kakiku mendingin.Aku tahu, aku sedang merasakah hal yang sama seperti sebelum kau menghilang.
Aneh. Ternyata itu hanya perasaan sesaat. Tak ada lagi debar jantung yang berdetak cepat ketika pandangan kita bertemu. Saat itu pula, aku merasa telah terbebas. Perlahan kerinduan ini mulai memudar. Bukan karena kita telah berjumpa dan saling melepas kerinduan, tetapi lebih pada menerima kenyataan yang ada.
Bila kumau, sehari setelahnya kita bisa saling menyapa dan meluruskan apa yang belum terungkap, hingga hari berikutnya dan berikutnya, kalau aku mau, kita bisa bersama.
Tapi tidak! aku lebih memilih menjauh. Mundur perlahan dari berdirimu yang masih gagah. Aku tahu mungkin pikiranku telah terbuka, kau tak mungkin bisa diharapkan kembali.
Rasa itu, rasa dimana kita telah saling mengetahuinya, mungkin hingga akhir memang tak bertakdir untuk terungkap lisan. Dan aku ingin terbebas dari angan yang tak kan pernah kau wujudkan.
Maafkan aku, Tuanku. Semua rasaku telah berakhir, tepat pada pertemuan pertama kita setelah sekian hari saling berjauhan. Terima kasih atas segala rasa yang mungkin pernah kau rasa terhadapku.
Aku tak yakin kau akan membaca pengakuanku ini. Tak apa, setidaknya sudah kukatakan bahwa aku telah mengakhirinya. Sendiri.
Mungkin kau baik-baik saja di sana.
Tapi kutahu, aku tak baik-baik saja di sini.
Mungkin kau tak tahu apa yang terjadi denganku sepanjang kepergianmu ratusan hari silam. Ribuan jam selepas menghilangnya kamu dari pandanganku, aku tak kuasa untuk menggenggam kerinduan. aku tak yakin kau akan datang kembali.
Ribuan jam setelahnya, aku mencoba membuka jalan untuk yang ingin mendekat. Setengah hati, mungkin tak apa. Aku tak peduli bagaimana caranya menghapus jejakmu di hati ini. Pada akhirnya aku menyadari imbasnya begitu fatal. Hati membeku dan pikiran mengeras.
Banyak telapak kaki melangkah pada jalan yang kubuat. Banyak pula lelah yang kudapat. Tak kunjung kutemukan kedamaian dalam dada. Dengan kerasnya namamu tak mau terhapus oleh waktu. Aku putus asa terjebak oleh perangkap ketidakpastianmu dalam kurun yang tak sebentar.
Kemarin. Ya, kemarin ketika peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Kurasa hari itu juga kemerdekaan hatiku. Setelah ratusan hari kau pergi, tiba-tiba muncul di depan mata. Wajahku menghangat, sementara tangan dan kakiku mendingin.Aku tahu, aku sedang merasakah hal yang sama seperti sebelum kau menghilang.
Aneh. Ternyata itu hanya perasaan sesaat. Tak ada lagi debar jantung yang berdetak cepat ketika pandangan kita bertemu. Saat itu pula, aku merasa telah terbebas. Perlahan kerinduan ini mulai memudar. Bukan karena kita telah berjumpa dan saling melepas kerinduan, tetapi lebih pada menerima kenyataan yang ada.
Bila kumau, sehari setelahnya kita bisa saling menyapa dan meluruskan apa yang belum terungkap, hingga hari berikutnya dan berikutnya, kalau aku mau, kita bisa bersama.
Tapi tidak! aku lebih memilih menjauh. Mundur perlahan dari berdirimu yang masih gagah. Aku tahu mungkin pikiranku telah terbuka, kau tak mungkin bisa diharapkan kembali.
Rasa itu, rasa dimana kita telah saling mengetahuinya, mungkin hingga akhir memang tak bertakdir untuk terungkap lisan. Dan aku ingin terbebas dari angan yang tak kan pernah kau wujudkan.
Maafkan aku, Tuanku. Semua rasaku telah berakhir, tepat pada pertemuan pertama kita setelah sekian hari saling berjauhan. Terima kasih atas segala rasa yang mungkin pernah kau rasa terhadapku.
Aku tak yakin kau akan membaca pengakuanku ini. Tak apa, setidaknya sudah kukatakan bahwa aku telah mengakhirinya. Sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar