Hai diary,
Kamu pasti tahu apa yang sedang terjadi denganku. Ya, sekian hari aku berusaha menahan rindu ini, pada akhirnya jebol juga. Aku memang merindukannya.
Setahun ini aku benar-benar kehilangannya. Hilang? Ah, bahkan memiliki pun belum pernah. Kuperjelas lagi, tahun-tahun sebelumnya, kami sesekali bertemu, yah walaupun tak pernah janjian sebelumnya. Dengan pertemuan yang tak disengaja itu setidaknya bisa menebus rinduku sebelumnya.
Jika ada kata move on, mungkin aku orang paling bodoh yang tak bisa melakukannya. Aku mengerti dengan kata itu, bahkan sangat paham. Beberapa tahun yang dilematis, memberi harapan semu pada diri sendiri, terkadang malah membuat sakit.
Mencintai tanpa berani mengungkapkan juga kebodohan berikutnya. Bukannya aku tak mau mengawalinya, tapi aku terlalu takut untuk menerima kenyataan jika nanti tak sepihak denganku. Itu sangat menyakitkan, ratusan kali lipat dibanding kehilangan jejaknya setahun ini.
Radith, kumerindukanmu.
***
“Kenapa sih mukanya dilipat mulu? Sedih ya mau jauh dari aku?” Goda Vira, sepupu yang seumuran denganku.
“Apaan sih.” Aku sedang tidak mood untuk bercanda.
“Nyesel nggak bisa liat atau ketemu Radith?” Tebaknya yang ternyata benar.
Aku enggan menjawabnya, toh dia juga sudah tahu jawabanku. Kedatanganku ke rumahnya, memang tak lain untuk menunggu jika ada keajaiban untuk bertemu Radith. Sayang sejak setahun terakhir, ketika setiap akhir bulan aku menginap di rumah Vira, tak sekalipun aku melihat Radith. Rumah Vira dengannya hanya berjarak lima rumah, jadi jika dia keluar rumah dan aku di balkon lantai dua rumah Vira, bisa melihatnya dengan jelas.
........... klik judul untuk lanjut membaca ...............
“Kalau jodoh juga nanti bertemu.” Ucap Vira sambil menepuk dua kali bahuku, kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum tipis. Semoga.
“Dilla, ayo masuk. Udah malam, diluar anginnya dingin.” Teriak Tante Winda, mamanya Vira dari dalam rumah.
“Iya tante, sebentar lagi.” Aku masih enggan beranjak dari teras, malam ini bulan purnama.
Bulan purnama memang bukan alasanku untuk menahan diri di sini. Aku ingin menghabiskan malam menikmati tempat kelahiranku, sebelum kembali ke rumah orang tuaku yang ada di luar kota.
“Assalamu’alaikum…” Salam seseorang dari pintu gerbang rumah.
“Wa’alaikumsalam…” Jawabku sambil melangkah untuk membukakan pintu.
Jantungku mendadak berdebar tak menentu ketika melihat siapa yang datang. Mata teduhnya, wajah tirusnya, tubuh proporsionalnya, Ah…
“Dilla, apa kabar? kapan kesini?”
Tentu saja sangat baik, akhirnya ketemu kamu.
“Alhamdulillah baik. Datang kemarin siang. Eh iya, ada keperluan apa malam-malam kemari?” tanyaku berusaha mengendalikan diri.
“Ini, mau nganterin kue pesanan Bu Winda.” Dia mengangkat kardus kecil di tangannya.
“Oh, ayo masuk.”
Kami melangkah beriringan masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih Radith, harusnya diantar besok saja, malam-malam jadi merepotkan kamu.” Ucap Tante setelah memberi bayaran kue-nya.
Selagi Radith bercakap-cakap dengan Tante, aku keluar kembali. Duduk bersila di lantai teras dan menatap langit yang nampak sangat terang.
Tuhan, terima kasih.
“Dilla…” Panggil Radith yang ternyata sudah berada di sebelahku.
Aku menoleh dan tersenyum.
“Boleh ikut duduk?” pintanya.
“Iya, sini. Nggak bayar kok.” Aku berusaha menenangkan hati yang terus bergejolak.
Hening sesaat. Aku tak tahu bagaimana mengawali obrolan ini. mataku kembali pada langit dan bulan.
“Ehm, gimana kuliahnya ibu calon psikolog?” pandangannya menatap lurus tubuhku.
“Lancar, mulai banyak praktik sekarang. Gimana kuliahmu?”
“Ya gitu deh. Orang analis kerjanya di lab terus sekarang.” Jawabnya tenang.
Lagi-lagi aku tak tahu kalimat yang tepat untuk kuutarakan.
“Dil, kamu makin cantik ya sekarang.” Ucapan Radith terdengar sungguh-sungguh.
“Gombalanmu datar tahu.” Aku menoleh dan nyengir.
“Siapa yang nggombal, aku serius lagi. Pasti beruntung yang bisa jadi pacarmu.”
“Sayangnya sampai sekarang belum punya pacar tuh. Berarti belum ada yang beruntung dong?”
Radith terkekeh.
“Masa sih? Kalau aku daftar boleh nggak?” tanya Radith semakin terlihat serius, atau malah sedang menggoda?
Aku menatapnya. Oh Tuhan, pesonanya memang tak pernah pudar, semakin menggetarkan hati. Perasaan yang hampir memudar kini telah menyatu kembali, membentuk bunga-bunga yang menunggu mekar.
“Modalnya apaan?” aku menantang.
“Nih, aku ganteng, kemarin baru dinobatkan jadi duta kampus lho, terus baik hati, pengertian.”
“Sekarang jadi narsis ya,” aku tertawa mendengarnya.
“Satu lagi, aku cinta sama kamu.”
Deg. Aku nggak salah dengar? Mataku tiba-tiba menghangat, mencipta danau kecil di pelupuk mata.
“Bagus juga modal kamu, tapi nggak lucu tahu kalau bercanda.” Mataku beralih pada bulan.
Tiba-tiba Radith meraih kedua bahuku, membuatku terpaksa berhadapan lurus dengannya. Kutundukkan kepalaku. Aku malu dilihat dengan mata yang berair, mungkin wajahku juga sudah merona merah jambu.
“Dilla, lihat aku. Aku nggak bercanda. Aku sayang sama kamu. aku juga tahu kamu punya rasa yang sama kan?”
Benarkah yang dikatakannya? Dan dari mana pula dia tahu aku punya rasa yang sama? Selama ini hanya Vira yang tahu. Jangan-jangan….
“Radith,” aku mendongakkan kepala, air mataku benar-benar jatuh.
Dia mengusap air di kedua pipiku.
“Kenapa nangis? Nggak apa-apa kan kalau aku juga sayang sama kamu?” Radith semakin dalam menatapku.
Hanya anggukan yang tercipta. Aku tak mampu berkata-kata. Perasaanku menjadi begitu sesak, terlalu mengejutkan.
“Dilla, maaf ya selama ini udah bikin kamu nunggu lama. Sebenarnya aku tahu tiap akhir bulan kamu kesini karena aku. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini dari dulu, aku lebih memilih bersembunyi dari pada ketemu dan nggak bisa nahan nervous pas liat kamu.”
“Terus kenapa sekarang kamu di sini? Dan sebenarnya kamu tahu dari mana semua itu? Vira?”
“Ibu tadi maksa aku suruh nganterin kue. Em, mungkin ini memang saatnya aku ngomong. Aku tahu dari Vira. Tiap kamu kesini, dia sms aku. Kadang dia malah marah-marah karena aku nggak pernah berani menemuimu.”
“Udah kuduga, pasti Vira.”
“Kamu tahu Dith, sejak kita lulus SMA tiga tahun lalu, aku baru nyadar kalau aku beneran sayang sama kamu. Walaupun dulu di sekolah kita cuma saling sapa, yang namanya rasa memang nggak bisa dibohongi.”
“Maafin aku, Dilla.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga nggak pernah nyesel kok nunggu kami selama ini.”
“Terus, proposal jadi pacarmu diterima kan?”
“Nggak ada alasan untuk menolaknya.”
Radith mengusap rambut panjangku. “Makasih cantik.”
“Sama-sama mas ganteng.” Ucapku diiringi tawa kebahagiaan.
“Nah gitu dong, dari dulu kek. Capek tahu liat Dilla galau mulu tiap kesini, Radith juga keras kepala banget kalau dibilangin.” Tiba-tiba Vira muncul dari balik pintu dan langsung menyerombol di tengah-tengah kami.
“Dil, satu rahasia yang selama ini aku sembunyikan dan sekarang kamu harus tahu, semester ini aku sama Radith satu kelas, jadi bisa ngobrol panjang lebar pas kuliah.” Vira tertawa puas sekali.
Agak kesal juga mengapa dia tak mengatakan dari dulu. Tapi, ya udah lah, bisa bersatu dengan Radith sudah lebih dari cukup untukku. Tiga tahun menanti akhirnya Tuhan mengabulkan pintaku.
selesai.
*yang berkenan baca, minta kritiknya ya*
Kamu pasti tahu apa yang sedang terjadi denganku. Ya, sekian hari aku berusaha menahan rindu ini, pada akhirnya jebol juga. Aku memang merindukannya.
Setahun ini aku benar-benar kehilangannya. Hilang? Ah, bahkan memiliki pun belum pernah. Kuperjelas lagi, tahun-tahun sebelumnya, kami sesekali bertemu, yah walaupun tak pernah janjian sebelumnya. Dengan pertemuan yang tak disengaja itu setidaknya bisa menebus rinduku sebelumnya.
Jika ada kata move on, mungkin aku orang paling bodoh yang tak bisa melakukannya. Aku mengerti dengan kata itu, bahkan sangat paham. Beberapa tahun yang dilematis, memberi harapan semu pada diri sendiri, terkadang malah membuat sakit.
Mencintai tanpa berani mengungkapkan juga kebodohan berikutnya. Bukannya aku tak mau mengawalinya, tapi aku terlalu takut untuk menerima kenyataan jika nanti tak sepihak denganku. Itu sangat menyakitkan, ratusan kali lipat dibanding kehilangan jejaknya setahun ini.
Radith, kumerindukanmu.
***
“Kenapa sih mukanya dilipat mulu? Sedih ya mau jauh dari aku?” Goda Vira, sepupu yang seumuran denganku.
“Apaan sih.” Aku sedang tidak mood untuk bercanda.
“Nyesel nggak bisa liat atau ketemu Radith?” Tebaknya yang ternyata benar.
Aku enggan menjawabnya, toh dia juga sudah tahu jawabanku. Kedatanganku ke rumahnya, memang tak lain untuk menunggu jika ada keajaiban untuk bertemu Radith. Sayang sejak setahun terakhir, ketika setiap akhir bulan aku menginap di rumah Vira, tak sekalipun aku melihat Radith. Rumah Vira dengannya hanya berjarak lima rumah, jadi jika dia keluar rumah dan aku di balkon lantai dua rumah Vira, bisa melihatnya dengan jelas.
“Kalau jodoh juga nanti bertemu.” Ucap Vira sambil menepuk dua kali bahuku, kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku tersenyum tipis. Semoga.
“Dilla, ayo masuk. Udah malam, diluar anginnya dingin.” Teriak Tante Winda, mamanya Vira dari dalam rumah.
“Iya tante, sebentar lagi.” Aku masih enggan beranjak dari teras, malam ini bulan purnama.
Bulan purnama memang bukan alasanku untuk menahan diri di sini. Aku ingin menghabiskan malam menikmati tempat kelahiranku, sebelum kembali ke rumah orang tuaku yang ada di luar kota.
“Assalamu’alaikum…” Salam seseorang dari pintu gerbang rumah.
“Wa’alaikumsalam…” Jawabku sambil melangkah untuk membukakan pintu.
Jantungku mendadak berdebar tak menentu ketika melihat siapa yang datang. Mata teduhnya, wajah tirusnya, tubuh proporsionalnya, Ah…
“Dilla, apa kabar? kapan kesini?”
Tentu saja sangat baik, akhirnya ketemu kamu.
“Alhamdulillah baik. Datang kemarin siang. Eh iya, ada keperluan apa malam-malam kemari?” tanyaku berusaha mengendalikan diri.
“Ini, mau nganterin kue pesanan Bu Winda.” Dia mengangkat kardus kecil di tangannya.
“Oh, ayo masuk.”
Kami melangkah beriringan masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih Radith, harusnya diantar besok saja, malam-malam jadi merepotkan kamu.” Ucap Tante setelah memberi bayaran kue-nya.
Selagi Radith bercakap-cakap dengan Tante, aku keluar kembali. Duduk bersila di lantai teras dan menatap langit yang nampak sangat terang.
Tuhan, terima kasih.
“Dilla…” Panggil Radith yang ternyata sudah berada di sebelahku.
Aku menoleh dan tersenyum.
“Boleh ikut duduk?” pintanya.
“Iya, sini. Nggak bayar kok.” Aku berusaha menenangkan hati yang terus bergejolak.
Hening sesaat. Aku tak tahu bagaimana mengawali obrolan ini. mataku kembali pada langit dan bulan.
“Ehm, gimana kuliahnya ibu calon psikolog?” pandangannya menatap lurus tubuhku.
“Lancar, mulai banyak praktik sekarang. Gimana kuliahmu?”
“Ya gitu deh. Orang analis kerjanya di lab terus sekarang.” Jawabnya tenang.
Lagi-lagi aku tak tahu kalimat yang tepat untuk kuutarakan.
“Dil, kamu makin cantik ya sekarang.” Ucapan Radith terdengar sungguh-sungguh.
“Gombalanmu datar tahu.” Aku menoleh dan nyengir.
“Siapa yang nggombal, aku serius lagi. Pasti beruntung yang bisa jadi pacarmu.”
“Sayangnya sampai sekarang belum punya pacar tuh. Berarti belum ada yang beruntung dong?”
Radith terkekeh.
“Masa sih? Kalau aku daftar boleh nggak?” tanya Radith semakin terlihat serius, atau malah sedang menggoda?
Aku menatapnya. Oh Tuhan, pesonanya memang tak pernah pudar, semakin menggetarkan hati. Perasaan yang hampir memudar kini telah menyatu kembali, membentuk bunga-bunga yang menunggu mekar.
“Modalnya apaan?” aku menantang.
“Nih, aku ganteng, kemarin baru dinobatkan jadi duta kampus lho, terus baik hati, pengertian.”
“Sekarang jadi narsis ya,” aku tertawa mendengarnya.
“Satu lagi, aku cinta sama kamu.”
Deg. Aku nggak salah dengar? Mataku tiba-tiba menghangat, mencipta danau kecil di pelupuk mata.
“Bagus juga modal kamu, tapi nggak lucu tahu kalau bercanda.” Mataku beralih pada bulan.
Tiba-tiba Radith meraih kedua bahuku, membuatku terpaksa berhadapan lurus dengannya. Kutundukkan kepalaku. Aku malu dilihat dengan mata yang berair, mungkin wajahku juga sudah merona merah jambu.
“Dilla, lihat aku. Aku nggak bercanda. Aku sayang sama kamu. aku juga tahu kamu punya rasa yang sama kan?”
Benarkah yang dikatakannya? Dan dari mana pula dia tahu aku punya rasa yang sama? Selama ini hanya Vira yang tahu. Jangan-jangan….
“Radith,” aku mendongakkan kepala, air mataku benar-benar jatuh.
Dia mengusap air di kedua pipiku.
“Kenapa nangis? Nggak apa-apa kan kalau aku juga sayang sama kamu?” Radith semakin dalam menatapku.
Hanya anggukan yang tercipta. Aku tak mampu berkata-kata. Perasaanku menjadi begitu sesak, terlalu mengejutkan.
“Dilla, maaf ya selama ini udah bikin kamu nunggu lama. Sebenarnya aku tahu tiap akhir bulan kamu kesini karena aku. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini dari dulu, aku lebih memilih bersembunyi dari pada ketemu dan nggak bisa nahan nervous pas liat kamu.”
“Terus kenapa sekarang kamu di sini? Dan sebenarnya kamu tahu dari mana semua itu? Vira?”
“Ibu tadi maksa aku suruh nganterin kue. Em, mungkin ini memang saatnya aku ngomong. Aku tahu dari Vira. Tiap kamu kesini, dia sms aku. Kadang dia malah marah-marah karena aku nggak pernah berani menemuimu.”
“Udah kuduga, pasti Vira.”
“Kamu tahu Dith, sejak kita lulus SMA tiga tahun lalu, aku baru nyadar kalau aku beneran sayang sama kamu. Walaupun dulu di sekolah kita cuma saling sapa, yang namanya rasa memang nggak bisa dibohongi.”
“Maafin aku, Dilla.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku juga nggak pernah nyesel kok nunggu kami selama ini.”
“Terus, proposal jadi pacarmu diterima kan?”
“Nggak ada alasan untuk menolaknya.”
Radith mengusap rambut panjangku. “Makasih cantik.”
“Sama-sama mas ganteng.” Ucapku diiringi tawa kebahagiaan.
“Nah gitu dong, dari dulu kek. Capek tahu liat Dilla galau mulu tiap kesini, Radith juga keras kepala banget kalau dibilangin.” Tiba-tiba Vira muncul dari balik pintu dan langsung menyerombol di tengah-tengah kami.
“Dil, satu rahasia yang selama ini aku sembunyikan dan sekarang kamu harus tahu, semester ini aku sama Radith satu kelas, jadi bisa ngobrol panjang lebar pas kuliah.” Vira tertawa puas sekali.
Agak kesal juga mengapa dia tak mengatakan dari dulu. Tapi, ya udah lah, bisa bersatu dengan Radith sudah lebih dari cukup untukku. Tiga tahun menanti akhirnya Tuhan mengabulkan pintaku.
selesai.
*yang berkenan baca, minta kritiknya ya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar