Rabu, 21 September 2011

Semua Orang Bisa Jadi Penulis Hebat

Oleh: Joni Lis Efendi

“Cerita-cerita memiliki kekayaan yang melebihi kenyataannya. Tulisan saya mengetahui lebih banyak daripada saya. Yang harus dilakukan seorang penulis adalah mendengarkan bukunya. Ia akan membawamu ke tempat yang tidak kamu duga.”
Modeleine L’engle
(Penulis novel A Wrinkle in Time)

Siapa saja memiliki peluang sama besarnya dengan J.K. Rowling, Stephen King, John Grisham, Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, Budi Dharma, Seno Gumira Ajidarma, Gus TF Sakai, Andrea Hirata, Afifah Afra, dan sebagainya, untuk jadi penulis beken. Nggak butuh rumus nyelimet, teori kusut-masai, harus jadi pengelana bertahun-tahun untuk dapatin segudang pengalaman, kalo cuma pengen menulis sebuah novel hebat atau cerpen yang keren. Karena semuanya sudah ada dalam pikiran kita. Sesuatu yang teramat dekat, bukan?



Perkaranya hanya satu, bisa atau nggak dia nulis apa yang sudah ada dalam batok kepalanya itu menjadi sebuah karya yang memikat. Kamu mungkin pernah membaca novel dari pengalaman hidup penulisnya langsung, seperti novel-novelnya NH Dini, Pipiet Senja, dan yang lagi banyak dibicarakan orang sekarang tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang hampir 90 persen adalah pengalaman hidup penulisnya. Karya-karya mereka itu begitu mengagumkan dan penuh pesona yang mampu menggetarkan dada orang-orang yang membacanya. Padahal mereka ini hanyalah orang-orang biasa, bahkan mungkin nggak lebih hebat dari publik figur yang bertitel selebritis yang saban hari kita tongkrongin wajahnya di layar kaca.

Tapi penulis-penulis hebat itu mampu menuliskan perjalanan hidupnya menjadi jalinan cerita yang apik memikat. Novel yang mereka tulis itu terasa lebih hidup, penuh pesona, indah dan terasa lekat dengan diri si pembaca. Inilah nilai lebih kreativitas. Dan, kamu pun bisa melakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih hebat lagi dari mereka.

Banyak orang yang menyimpan obsesi pengen jadi penulis tersohor (top, beken, nomor wahid se-Indonesia kapan perlu bisa ngalahin J.K. Rowling) setelah melihat betapa enak dan mapannya kehidupan penulis yang karyanya booming. Sayangnya, mereka cuma melihat kulit luarnya saja. Mereka cuma lihat sisi enaknya saja jadi seorang penulis yang terkenal. Tapi malas untuk berdarah-darah mengasah kemampuan menulisnya. Celakanya lagi, mereka menutup mata dan mati-matian membela diri kalo novel merekalah yang terbaik, nggak ada satu pun yang boleh dikoreksi, titik. Tapi nyatanya, novel itu biasa-biasa saja nggak ada nilai lebihnya. Buktinya, belum terbit-terbit juga.

Mereka itu seperti katak dalam tempurung berlumut. Nggak mau jujur, atau mungkin takut, untuk melihat realita yang ada, bahwa nyata-nyatanya karya mereka itu memang masih “jelek”. Mereka juga menulis itu-itu aja dengan gaya yang datar-datar aja; klise, norak, ngebosanin, dan mutar-mutar kayak komedi putar. Singkatnya, mereka bukan penulis yang kreatif, bisanyanya cuma “mengitik” alias mengekor saja karya yang best seller.

Aneh bin nyebalin, mereka nggak mau dikasih saran apalagi dikoreksi. Aduh, bagaimana cara menghadapi orang kayak gini?
Ke laut aja kali ya…

Dalam pikiran penulis-penulis malas plus nggak kreatif itu, nulis ya nulis. Nggak usah capek-capek bikin gaya baru, tema baru, tokoh yang aneh-aneh, biasa-biasa sajalah. Capek, kan kalo bikin novel yang ceritanya aneh-aneh gitu.

Ya, emang harus mau capek kalo pengen jadi penulis beken. Kamu bisa baca bagaimana kegigihan J.K. Rowling memelihara ide besarnya untuk menulis kisah Harry Potter, yang diancang-ancangnya bakal jadi 7 serial, selama lima tahun. Dia nggak buru-buru untuk menulis novelnya, tapi dengan kreatif mencari menulis diskripsi tokoh-tokoh ceritanya dengan begitu detail. Rowling juga mengakui karakter tokoh dalam Harry Potter banyak terilhami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang patut dicontoh, Rowling nggak menulis karakter tokoh ceritanya itu dengan gaya yang biasa-biasa saja. Dia menambahkan ide-ide baru yang menyegarkan, meledak-ledak dan menggairahkan sehingga pembacanya nggak enek membacanya.
Pikiran yang meledak-ledak dan penuh kejutan itulah yang bernama kreativitas. Inilah yang dikatakan Bruner dalam bukunya “Toward a Theory of Instruction”, tentang makna sederhana dari kreativitas sebagai kejutan efektif. Hasil dari olahan kreativitas itu dapat berupa barang, atau gagasan, yang mengejutkan karena berbagai kemungkinan. Misalnya sesuatu yang baru, belum pernah ada, belum pernah terpikirkan, unik, khas, dan lain sebagainya. Sesuatu itu dikatakan efektif karena berbagai kemungkinan pula, misalnya karena bermanfaat, mempermudah kerja, memperindah, dan lain-lain.
Walau sesuatu yang baru itu menganggumkan dan penuh kejutan, tapi jika ditulis bertele-tele juga nggak efektif. Jadinya cuma cerita asing yang sulit dicerna dan bisa bikin muntah.

Kang Abik, panggilan akrab Habiburraham El-Shirazy, yang menulis novel Ayat Ayat Cinta (AAC) sebenarnya bukan menulis tema yang baru, yakni tentang cinta. Coba kamu bongkar lagi koleksi novelmu kebanyakan pasti tentang tema cinta, kan? Lalu, apa kelebihannya?
Dalam AAC, kang Abik nggak terjebak dalam alur cinta picisan yang hambar dan itu-itu saja. Ada yang segar di dalamnya, juga kejutan cerita yang tak terduga. Ditambah lagi dengan kuatnya pesan-pesan moral yang dipertunjukkan oleh karakter tokoh ceritanya. Keindahan Kota Cairo menjadi bingkai cerita yang turut menghadirkan kesan kuat dalam novel ini. Bagi kamu yang sudah membaca novelnya, pasti dapat merasakan sendiri dimana letak kelebihan novel AAC ini.

Lalu, coba kamu bandingkan dengan novel-novel epigon (yang meniru-niru) AAC, adakah sesuatu yang baru di dalamnya? Semuanya serba pengulangan yang membosankan.
Sedangkan novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, memunculkan sesuatu yang baru tentang pendidikan, yang sangat sedikit diangkat secara total dalam sebuah karya novel. Walau novel yang bercerita tentang pengalaman kanak-kanak, tapi Andrea Hirata mampu menghadirkan kejutan-kejutan yang tak terduga dalam novelnya. Sehingga novel ini mampu mengalirkan energi positif bagi pembacanya dan memberikan pencerahan yang cukup kuat.

Dikutip dari buku: Writing Donuts: Nulis itu Selezat Donat, karya Joni Lis Efendi

2 komentar:

  1. seep...makin menambah semangat untuk belajar menulis,
    terimakasih atas tulisan yg bermanfaat

    salam kenal ^.^
    mampirlah di gubuk reot saya....

    BalasHapus
  2. makasih kunjungannya larejunbo...
    mari kita saling belajar nulis.

    iyya, saya dah mampir.. :)

    BalasHapus