Kamis, 13 Maret 2014

Senja di Volendam

Sudah dua jam lelaki berambut pirang itu duduk di atas Gondola yang sedang dilabuhkan. Tak dihiraukan butir keringat yang mulai menghias wajah tirusnya, sudah terlalu biasa ia menikmati De Zome di Volendam pada senja seperti itu.
Hiruk pikuk turis memadati pelabuhan tua itu, tak sedikitpun membuatnya ingin beranjak, meninggalkan tempat kenangannya bersama gadis kecil yang selalu memamerkan lesung pipitnya kala menyaksikan kapal-kapal besar menepi.
Berkali-kali mata birunya memandang selembar kertas lusuh yang ada digenggamannya. Sebuah kertas yang warnanya sudah berubah kecoklatan, yang sudah terpenuhi garis lipatan abstrak. Bagi orang lain, mungkin sudah dibentuk bulatan bola, lalu dilempar ke tong sampah terdekat. Namun tidak bagi lelaki itu. Secarik kertas penuh tulisan yang menjadi sumber penyesalannya. Seumur Hidup.
"Dia tak ingin menemuimu sebelum pergi, hanya ada sepucuk surat yang mungkin bermanfaat untukmu," ucap seorang sahabat suatu kali.

Sayang...
Maafkan gadis kecilmu
ampuni segala keraguan ini
tak apa kau anggapku pengecut
tak apa.
Aku hanya ingin terbaik untukmu, untuk kita.
untukmu, supaya kau jera dengan negatifmu
untuk kita, agar lebih bisa menjaga hati dan kehormatan berdua.

Sayang...
Hubungan bukan hanya perihal cinta!
juga mengenai tanggung jawab serta komitmen.
Kau tahu maksudnya, sayang?


Jika memang ketulusan ada pada hatimu,
tentu kau mengerti,
menyadari akan makna keseriusan.

Aku tak bermaksud mengacuhkanmu,
hanya,
kita kejar mimpi masing-masing dahulu.

Saat baik itu pasti datang
Jika kau mau sedikit saja bersabar
tentu aku amat bersyukur

Namun, sayang....
Kau begitu terburu
Kau ingin lekas menyatu
sebelum waktunya.

Maaf jika kau kecewa
Maaf jika aku tak seperti yang kau harapkan
Pergilah, sayang....
 
 Lalu,
Kembalilah jika saat tiba waktunya.



Sebuah ungkapan dari gadis kecilnya. Gadis yang teramat disayanginya. Gadis pertama, juga terakhir di pelabuhan hatinya.
Lelaki itu tertunduk lemas usai membaca kata demi kata pada kertas usah tersebut. Selalu begitu sejak tiga tahun lalu. Sebuah surat yang diterimanya saat libur musim panas, ketika pujaan hatinya terbang melintasi benua, menuju negeri Katulistiwa. Tak pernah kembali.
"Andai tiga tahun lalu aku mengerti pintamu. Andai kau katakan ketidaksukaanmu terhadapku yang pecandu. Andai aku tak tergesa memintamu menjadi milikku. Semua tak begini. Kau tak perlu menjauh dariku. Kau tak perlu pergi. Kau juga tak perlu menjadi penambah daftar korban tewas dalam kecelakaan pesawat menuju tanah kelahiranmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar