Sabtu, 22 November 2014

Pengabaian



Cinta datang seiring adanya perhatian yang terus menerus, cinta pergi seiring adanya pengabaian. Itu saja. Tidakkah kau setuju dengan ucapanku? Buktikan saja. Ketika sering diberi perhatian, tumbuhlah benih-benih cinta karena terbiasa. Indah dunia karena bisa menikmati hari dengan saling memberi rasa bersama. Sebaliknya, cinta akan pudar setelah berulang kali mendapatkan pengabaian. Luka yang muncul karena diacuhkan, semakin lama akan mengikis perasaan yang disebut cinta.
Boneka Bear, kotak music, dan sepucuk surat. Tiga benda pemberian seseorang yang sekarang harus kumasukkan ke dalam sebuah kardus. Bukan untuk dibuang atau diloakkan, hanya perlu disimpan agar tak terlihat mata. Karena setiap pandangan menangkap benda-benda tersebut, mata seketika ingin menitikkan Kristal bening dari dalamnya. Teringat pemberinya, luka-luka yang telah menggores hati, kembali terasa pedih. Nyeri.
“Clara…” Panggil seseorang dari arah pintu kamar.
“Hai,” balasku setelah menoleh panggilan dari sahabatku.
“Udahlah Cla, jangan terus menyakiti dirimu sendiri.”
“Ini cinta pertamaku, Cla. Aku serius menjalani hubungan ini, setulus hati. Namun ternyata aku buta.”

Ya. Aku dibutakan oleh pesona seorang lelaki yang (ternyata) hanya mengumbar kata cinta. Diumurku yang sebentar lagi kepala dua, baru kurasakan letupan-letupan perasaan asing yang katanya disebut cinta. Perasaan yang tumbuh karena  terus dipupuk oleh perhatian.
Indah diawal, pahit diakhir. Terkadang kalimat itu ada benarnya. Semua akan nampak indah dan manis ketika masa pendekatan, namun setelah menjalin hubungan lama-kelamaan terasa hambar. Kukira perhatian yang semakin lama semakin berkurang, hanya karena suatu kesibukan. Dan setelah penantian yang lama, barulah mata bisa melihat dengan jelas. Kebohonganlah yang tergambar.
Pedih kerap terasa hingga ulu hati yang membuat pernafasan sesak seketika. Bodoh sekali aku yang terus mengharapkan seseorang yang sebenarnya sudah tak mengharapkanku lagi. Satu per satu titik terang mulai menyala. Dari yang katanya sibuk, bosan, hingga yang terakhir kudapati bukti bahwa orang yang selama ini kupertahankan lebih memilih perempuan lain untuk menemaninya.
Jika ditanya sakit, itu jelas terasa. Untuk apa selama ini aku menanti? Apakah memang hanya satu pihak yang terluka? Apakah hanya satu pihak yang ingin tetap bersama?
Rasa nyeri yang menggunung, kini berubah menjadi suatu kekecewaan yang tak berkesudahan. Jika memang dia sudah tak ingin bersama, mengapa tak mengatakan saja? apa memang ingin membuatku menyerah perlahan? Kenapa tak sekalian saja membunuh hatiku agar cepat selesai!
“Jangan terlalu membenci, mungkin dia memang benar ingin menjaga jarak denganmu agar nantinya kamu siap untuk menjalin hubungan jarak jauh selepas wisuda nanti,”
“Nyiapin LDR? Masih dekat aja nggak pernah ada kabar, apalagi nanti kalau udah jauh.  Mungkin semakin terabaikan,” Jawabku sakratis, “Apapun alasannya, tak ada lagi kalimat yang bisa kupercaya darinya.”
Perempuan berwajah mungil itu hanya memandangku dengan tatapan iba. Kurasa dia turut lelah menghadapiku yang hampir setiap hari mengeluhkan kisah cinta yang tak menyenangkan.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Cla. Jika berhenti adalah pilihan yang kamu ambil, harus siap kehilangannya.”
Lagi-lagi aku tersenyum pahit, “Aku memang telah lama kehilangannya.”
Dari awal kami sudah berbeda, dan hingga akhirpun takkan pernah bisa sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar