Sabtu, 18 Juli 2015

Kali ini tentang mimpi



Jika ditanya tentang impian, sepertinya aku tak pernah benar-benar memikirkannya sehingga jawabanku selalu gelengan kepala.
“Nggak punya mimpi? Lalu apa tujuan hidupmu?” pasti pertanyaan itu yang ada di setiap benak orang yang mendengarnya.
Sejak kecil, aku selalu bahagia jika kedua orang tuaku tersenyum. Jadi, harapanku hanya satu. Ingin melihat orang tuaku selalu tersenyum karenaku.
Dan pertanyaan yang ada dalam kepalaku sendiri adalah, “Apa yang harus kulakukan?”

Jawaban kutemukan ketika kelulusan sekolah menengah pertama. Tak pernah kuduga sebelumnya, itu prestasi pertama untuk menjadi yang terbaik. Setelah gelisah menunggu kepulangan Bapak untuk mengambil surat kelulusan, kudapati beliau tersenyum sumringah, lalu menceritakan segalanya. Sejak itu, aku tahu bagaimana membuat orang tuaku tersenyum karenaku. Yaitu, berusaha melakukan apapun untuk menjadi yang terbaik.
Selanjutnya ketika masuk sekolah menengah atas, aku dipertemukan dengan orang-orang hebat, yang tentu saja di bidang akademis aku masih jauh di bawah mereka. Saat itu, aku mulai berpikir bahwa menjadi terbaik bukan hanya dari segi akademis kependidikan. Aku akan berusaha berprestasi melalui apa yang kugemari. Menulis.
Kudalami dunia yang kugemari ini. Mulai dari mencari teori hingga pengalaman. Beberapa buku antologi bersama akhirnya berhasil kukantongi. Pada pertengahan kuliah, tanpa kusangka sebelumnya aku berhasil menerbitkan sebuah novel. Ibuku mulai mengenalkan novelku kepada teman-temannya. Semoga hasil yang kuperoleh juga selalu mengembangkan senyum orang tuaku.
Sekarang, di penghujung menimba ilmu di perguruan tinggi, aku mendapat banyak pelajaran hidup, termasuk soal masa depan. Kita tak selamanya akan bersembunyi dibalik ketiak orang tua. Akan tiba waktunya untuk berjalan sendiri.
Ketika kutulis kalimat ini, aku sedang menyesali banyak hal. Mengenai project novel kedua yang tak terselesaikan karena suatu hal. Mengenai waktu terbuang sia-sia karena permasalahan tak berarti. Mengenai “satu” harapan yang selalu kudoakan namun tak kunjung nyata. Lalu, mengenai dua mimpi besar yang tak bisa diwujudkan semua karena kelulusanku mundur. Dua mimpi itu adalah pilihan, dan aku harus mewujudkan salah satunya. Demi orang-orang yang kusayang. Tahun depan aku akan mewujudkannya! Demi mereka, demi masa depanku.
Jika masih ada yang menanyakan apa impianku sekarang, aku tak lagi menggeleng, juga tak menjawab ingin melukis senyum di wajah kedua orang tuaku, tetapi aku akan menyebutkan dengan jelas apa mimpi dan harapanku. Bukankah belum terlambat untuk membulatkan hati di usia yang ke dua puluh satu?
“Satu” harapan yang selalu kudoakan setahun belakangan untuk disegerakan, sepertinya bukan lagi menjadi prioritasku. Aku akan mengutamakan mimpiku yang harus kucapai di tahun depan. Semoga “satu” harapan itu bisa terus mengiringi.
Semua yang kulalui satu tahun ini, bahkan lima tahun belakangan bukanlah hal yang mudah. Satu selesai, satu tumbuh. Begitu seterusnya. Sedikit demi sedikit benang merah merajut karpet. Semakin lebar jalan menuju cahaya.
Ya, cahaya itu akan segera kucapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar