Sabtu, 28 Agustus 2010

Face to Face

Awan hitam menutupi birunya langit. Gemercik air hujan kian menggema. Andai bisa terjadi, kuingin semua beban dan masalahku ikut hanyut terbawa air yang mengalir. Entah mengapa hari ini suasana hatiku begitu gundah. Sesuatu yang baru kuketahui meambah beban pikiranku kini.
Kuingat awal masuk kelas XI. Aku mendapat banyak teman baru, salah satunya adalah Deni. Sang ketua OSIS yang selalu bersikap bijaksana, pendiam juga cerdas. Menurutku Deni tergolong cowok misterius. Dia tak pernah mengatakan sesuatu yang pribadi didepan teman-temannya. Meski satu kelas, aku tak begitu akrab dengannya. Disamping dia sibuk dengan kegiatannya, aku juga bingung menentukan topik kalau mau ngobrol dengannya. Kami lebih sering berbalas senyum.
Pernah beberapa kali aku memergokinya sedang memandang kearahku, atau mungkin kearah April, teman sebangku-ku. Saat tatapan kami bertemu, dia tersenyum, aku membalas senyumannya dan segera mengalihkan pandangan. Kurasa hampir setiap hari kejadian itu selalu berulang. Terkadang ingin kutanyakan mengapa dia sering memandang kearahku, namun sepertinya tak memungkinkan.
Hari ini aku mendapat pengakuan dari temanku, Vani yang cukup mengejutkan.
“Nin, aku mau Tanya, tapi kamu harus jujur ya…” Ucap Vani saat istirahat.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Ninda, kamu tahu pacar Deni di kelas ini?” Tanya Vani langsung.

“ Aku nggak tahu. Kenapa tanya ke aku? Memangnya pacar Deni disini?” Aku balik bertanya.
“Mungkin. Apa jangan-jangan kamu pacarnya Deni ya? Bilang aja, aku bisa jaga rahasia kok.” Kata Vani mengejutkanku.
“Nggak kok. Yang ku tahu Deni naksir adik kelas deh. Btw kenapa kamu bisa ngomong gitu?.” Jawabku masih agak bingung.
“Oh… bukan ya? Soalnya aku kemarin dengar Gani bilang ‘Deni pasti senang bisa ketemu terus dengan someonenya, sementara aku cuma bisa ketemu waktu istirahat.’.” Jelas Vani.
“Kenapa kamu bisa mengira aku pacaran sama Deni?” tanyaku lagi.
“Karena setelah kuperhatikan sepertinya cuma kamu yang kemungkinan pacarnya Deni. Lagipula waktu aku Tanya dia pacarnya kamu, Deni tersenyum dan cuma bilang ‘kamu tahu dari mana?’. Dan itu cukup membuatku penasaran.” Katanya yakin.
Kok reaksi Deni cuma gitu? Aneh…
“Benar deh, aku nggak ada apa-apa dengan Deni.” Tegasku.
@@@

Esok harinya ketika akan masuk kelas mendadak jadi deg-degan. Kuharap bukan karena Deni. Kuyakinkan dalam hati bahwa aku nggak naksir Deni dan begitupun sebaliknya.
Setelah meletakkan tasku di meja, aku memperhatikan teman-temanku yang sudah berangkat. Deni juga sudah duduk manis dibangkunya. Oh no… saat ku menengoknya ternyata ia sedang memandang kearahku. Ia tersenyum padaku. Aku balas tersenyum.
Aku teringat kembali dengan ucapan Vani kemarin. Aku ingin melupakannya. Aku berharap Deni tak salah paham. Aku takut kalau Deni mengira aku menyukainya.
Ku akui kami jarang saling bicara. Deni lebih sering ngobrol dengan April atau menanyakan sesuatu kepadanya dibanding kepadaku. Apakah mungkin kalau sebenarnya Deni menyukai April? Dan saat Deni sedang memandang April aku menengok kearahnya, sehingga ia juga melihatku. Aku nggak heran kalau dugaanku benar karena selama ini banyak cowok yang terpikat kecantikan dan kecerdasannya. April memang tipe cewek idaman. Meskipun dulu, orang yang kusuka memilih dirinya sebagai pacar, aku nggak merasa sakit hati. Aku beruntung memiliki sahabat seperti April yang begitu baik dan nggak sombong.
@@@
Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menetralisir suasana, walaupun terkadang ada desiran aneh dihatiku saat tatapanku bertemu dengannya. Hingga kini aku belum mengetahui apa penyebab Deni sering melakukan hal itu. Aku tetap berpikir positif kalau aku hanya menganggap Deni sebagai teman, dan kuharap Deni tak salah paham mengenai semua ini. Huft… persoalan yang sederhana namun terasa rumit banget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar