Minggu, 15 Desember 2013

Kora-kora

Lampu sorot memancar berputar ke segala penjuru, pertanda suatu tempat sedang digelar pasar malam.
"Kita kesana yuk," pintanya mendadak menunjuk sebuah sinar putih yang bergerak-gerak di atas langit.
"Mau ngapain? paling cuma mainan anak-anak," tolakku cuek.
"Daripada di sini dari tadi aku cuma liatin muka kusutmu itu. Udah deh, nggak usah galau sama orang yang nggak punya hati. yuk have fun aja..." tangannya dengan sigap langsung menarik tanganku menuju motor merah yang terparkir beberapa meterdaari bangku taman yang kami duduki kini.
*** 
"Lisa, kenapa mendadak berhenti?" Seseorang menyadari gerakan langkahku.
Aku menggeleng, "Maaf Sya, aku nggak bisa," ucapku lirih, nyaris tak terdengar tertutup suara riuh rendah para pengunjung pasar malam.
Tasya menatapku lama. "Kamu nggak bisa lari terus-menerus dari kenyataan Lis,"
Mendadak mataku menghangat diiringi lesir angin malam yang kian menusuk tulang.
"Lisa, udah dua tahun. Daniel juga pasti udah tenang di alam sana." Tasya merengkuh tubuh kecilku.
"Semua gara-gara aku. Kamu lihat kora-kora yang disana, karena permainan itu Daniel pergi." Isakanku semakin menjadi.
Seberapapun waktu yang telah berlalu, kejadian malam naas itu tak akan pernah bisa hilang dalam ingatanku. Daniel. Seorang sahabat yang kukenal selama dua tahun. Dia selalu menerima segala curahan hatiku tentang lelaki yang kusuka. Dia yang tak pernah mau melihatku bersedih. Dia yang selalu memarahiku karena terlalu bodoh mengartikan cinta. Dia yang kutahu sebenarnya memiliki rasa lebih dari seorang sahabat terhadapku.
Dua tahun lalu, ketika seorang lelaki menghianatiku, dia orang pertama yang memberikan pundaknya untukku bersandar. Dia yang rela naik kora-kora demi menemaniku menaiki permainan itu. Dia yang akhirnya tidak bisa menahan sakitnya karena tak bisa mengontrol kesstabilan jantungnya. Dia yang tak pernah mengatakan kalau sebenarnya punya penyakit lemah jantung. Dia pula yang hingga kini memenuhi pikiranku, membuat diri ini terus merasa bersalah karena tak pernah tahu kelemahan sahabatnya. Sebuah kebodohan yang tak termaafkan.


*gambar : http://moniceoktavina.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar