Rabu, 03 September 2014

Terlambat



Kulirik jam bentuk segi enam yang terpasang di dinding sebelah pintu. Ah, ternyata sudah tengah siang, pantas saja kerongkonganku sudah kering. Aku beranjak dari kursi kerjaku nan empuk dan berniat membuat jus melon di dapur.
Baru saja keluar ruang kerja, bel pintu rumah berdenting, sepertinya hari ini aku tak ada janji dengan siapapun. Langkah pun berbelok menuju ruang tamu dan segera membuka pintu setelah kuputar kunci yang tergantung di daun pintu.
“Selamat siang Mbak Nabila…” Sapa seorang bapak yang ada dihadapanku.
“Eh Pak Maman, selamat siang. Mari silakan masuk.” Sambutku ramah pada Pak RT.
“Terima kasih mbak, saya cuma mau menyampaikan undangan saja. Ini.” Beliau menyerahkan sepucuk undangan berwarna merah marun.

“Oh, terima kasih Pak.” Terimaku tanpa berniat segera membuka undangan tersebut.
“Baiklah, saya langsung pamit saja. Permisi mbak.”
Aku hanya membalas anggukan dan senyum lebar. Setelah beliau keluar gerbang rumahku, baru ku tutup pintu.
Kartu undangan itu kuletakkan di meja ruang tengah dan aku langsung menuju dapur untuk membuat jus yang tertunda sebentar. Lima menit cukup untuk mengubah potongan melon dingin dari kulkas menjadi hidangan segar di dalam gelas.
Aku kembali ke ruang tengah dengan gelas yang isinya tersisa setengahnya. Siang ini cuaca memang sangat panas.
Kuraih undangan yang baru kuterima. Siapa yang menikah? Segera kubuka plastik pelindungnya.
“Romi dan Melissa.” Aku terdiam sesaat. “Astaga! Romi mau nikah?”
Entahlah, mataku mendadak hangat. Jantungpun berdetak tak karuan. Bila ditanya kenapa? Aku pun tak mampu menjawabnya. Ini terlalu mengejutkan dan… sakit.
Lima tahun. Ya lima tahun menunggu tanpa kepastian, dan inilah jawabannya. Betapa bodohnya aku selama ini mengharapkan orang yang salah. Mengharapkan dia yang tak memiliki perasaan yang sama denganku. Mengharap bisa bersatu dengan orang yang tak pernah memiliki kedekatan apapun selama ini denganku.  Bodoh sekali. Sepertinya aku memang wanita usia dua puluh dua tahun yang paling bodoh di dunia ini.
Sendi-sendi tungkai terasa begitu ngilu untuk menapak. Kupaksakan langkah menuju kamar yang hanya berjarak lima meter. Langsung kujatuhkan tubuh pada ranjang empuk yang anehnya kini terasa keras hingga punggungku sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar