Minggu, 28 Desember 2014

Al Yassin



                “Samudra…!”
                Suara perempuan setengah baya memecahkan keheningan rumah di siang bolong.
                “Iya mama, ada apa?” sahut anak lelaki tak kalah lantang dari dalam rumah.
                “Kau sudah dengar adzan? lekaslah ke masjid.”
                “Iya mama, Sam punya sarung sedang dipakai.”
                Anak lelaki berumur sepuluh tahun itu segera membenahi sarung yang dipakai kemudian bergegas menuju masjid yang hanya berjarak 20 meter dari rumah.
                Sambil bersenandung riang, Sam melangkahkan kakinya menuju rumah ibadah satu-satunya di kampungnya. Mendadak langkahnya terhenti tepat di depan gerbang masjid, kemudian menoleh kearah kanan dan membaca tulisan yang ada di papan.
                “Masjid Al Yassin, Kampung Patimburak, Distrik Kokas.”
                “Sedang apa kau Sam?” seorang bapak tiba-tiba menepuk bahu Samudra.

                “Ah, tidak. Mari masuk Pak. ”
                Mereka bersama-sama memasuki masjid tua yang masih kokoh bangunannya. Samudra mengambil shaff kedua. Zuhur kali ini, seperti biasa hanya terisi dua baris gelaran sajadah. Baru saja anak itu berniat duduk, muadzin sudah mengumandangkan iqomah.
***
                “Samudra…!”
                “Iya mama, mengapa mama selalu berteriak?”
                “Takutnya kau tak dengar mama punya panggilan. Pi mana bawa buku gambar segala?”[1]
                “Mau menggambar di luar, mama. Tenang saja, tak jauh-jauh.”
                Sam keluar rumah dengan membawa buku gambar ukuran A4 di tangan kiri dan tangan kanannya menggenggam pensil serta penghapus. Langkah kakinya menuju pohon besar yang berada di depan masjid.
                Sam sudah membayangkan jika menggambar di bawah pohon itu pasti akan sangat sejuk. Sedikitpun tak ada rasa takut dia mendekati pohon Mangga super besar yang konon ada penghuninya. Bagaimana tidak menyeramkan, perlu empat rentang tangan orang dewasa untuk merengkuh keseluruhan batang pohon itu.
                Setelah menempatkan posisi yang nyaman, Sam memandang lurus ke depan. Matanya menangkap sebuah bangunan yang umurnya mungkin sama dengan umur pohon mangga tempatnya bersandar. Entah dapat ide dari mana, mendadak Sam ingin menggambar masjid tempatnya sholat setiap waktu.
             Dibukanya halaman yang masih kosong kemudian Sam mulai menggoreskan bukunya menggunakan pensil yang sudah runcing. Sesekali matanya mendongak memperhatikan arsitektur bangunan, lalu kembali menunduk menuangkan apa yang ditangkap matanya.
                Masjid Al Yassin berbentuk segi delapan. Jika dari jauh, bangunan itu nampak seperti gereja karena bagian kubah menjulang tinggi dan atapnya terdiri atas tiga tingkat. Pertama-tama Sam membuat dinding masjid terlebih dahulu, kemudian mulai ke atas. Mulai menggambar atap paling bawah yang menyatu dengan atap keempat serambi masjid, dilanjutkan atap bagian tengah yang dibuat secara melingkar, lalu atap paling atas yang merupakan kubah masjid.
                “Bagus sekali gambarmu, Nak,” puji seseorang yang sudah berdiri di samping Sam beberapa saat lalu.
                “Eh sejak kapan Kyai tiba di sini?” tanya Sam kaget.
                “Baru saja, ternyata kau pandai menggambar ya.” Kyai turut duduk di sebelah Sam, lalu tersenyum.
                “Ah, saya punya gambar masih sangat jelek ini,” Samudra nampak malu.
                “Tidak ada sebuah karya yang jelek, Nak. Mengapa kau menggambar masjid itu sam?”
                “Setiap hari Sam sholat di situ, jadi ingin punya gambarnya untuk dipajang di kamar,” jawab Sam sambil tersenyum.
                “Kamu punya gambar sudah hampir selesai. Sam ingin dengar sejarah tentang masjid Al Yassin?” Kyai menawarkan.
                “Kyai tahu? Tentu saja akan saya dengarkan ceritanya,” seru Sam antusias.
                “Baiklah. Kau tahu, masjid itu sedah sangat lama dibangun. Konon itu adalah masjid tertua di tanah Papua…”
                “Luar biasa!” potong Sam terkejut.
“Menurut cerita yang Bapak dengar, masjid tersebut dibangun dimasa Raja Wertuer I bernama kecil Semempe. Saat itu, tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup berdampingan di Papua...”
Sam masih terdiam menyimak cerita Pak Kyai dengan seksama.
 ”Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke Kabupaten Fak-fak, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya. Maka ia membuat sayembara: misionaris Kristen dan imam Muslim ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak, gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama itu...”
”Lalu siapa pemenangnya, Kyai?” Sam sangat penasaran.
”Tuhan telah berkehendak, Masjid lah yang berdiri pertama kali, maka raja dan seluruh rakyatnya pun memeluk Islam. Bahkan sang raja kemudian menjadi imam juga, dengan pakaian kebesarannya berupa jubah, sorban, dan tanda pangkat di bahunya.”
”Wah, hebat sekali orang-orang yang dulu membangun masjid itu. Sam baru dengar cerita ini dari Kyai saja.” Sam nampak beruntung dapat mendengar cerita sejarah berdirinya masjid tempatnya beribadah.
”Begitulah perjuangan dahulu. Sekarang tugas anak-anak muda seperti kamu adalah merawatnya agar bisa terus digunakan untuk beribadah,” Kyai menepuk bahu Sam.
Anak kecil itu membalas dengan senyuman penuh arti.
                ***
               





[1] Pergi kemana


nb: cerpen dini diikutkan tantangan menulis #CeritaPapua @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar