Selasa, 20 Desember 2011

bersama kuda putih

 
Aku mengundangmu lewat samar bulan nanti malam. 
Datanglah dengan kereta yang ditarik Sembilan pasang Kuda putih. 
Kan ku sambut kau dengan taburan Mawar Merah bersama kepulan asap dupa saat kau tiba di tangga gerbang utama. 
Maka tiga puluh tiga jendela istana di sana akan terbuka untuk menyorotkan warna-warna cahaya yang bergerak lurus di sela jeruji.
Saat Itulah menandai ke luarnya sang pangeran dari singgasana untuk ke sini. 
Diiringi guntur dan teriak Jalak Hitam, angin menari dalam irama Waltz menyusur setiap pucuk bunga rumput, membuat proses mandiri. 
Aku menunggumu di punggung gunung menghadap Barat. 
Titian yang kau jejak di tangga itu akan berpendar kebiruan fosfor dan kehangatan bara Batubara. 
Tarikan nafasmu yang tersengal akan memaksa berhenti sejenak, dan itulah kesempatan bagi tatapan matamu memangdang silhuet yang tercetak di langit samar. 
Bentuk rupa itulah kekerdilanku dalam sudut pandang langkahmu yang mulai gontai. 
Maka, teruslah melangkah, yakinlah bahwa bidadari yang tak kasat mata sesungguhnya mendampingimu hingga sembilan ratus anak tangga malam yang terakhir. 
Aku mengundangmu untuk perjamuan makan malam di bawah samar bulan nanti malam. 
Meja kayu tanpa ukir nyaris massif tanpa kain penutup, telah kusiapkan. 
Kalau kau baca lingkar usia kayu bahan dasarnya, seabad lebih mungkin telah berdiri menjadi saksi kehidupan gunung mengakar hingga sedalam dasar samudera. 
Ribuan oncor telah dinyalakan dengan gemericik air dari parit yang melingkari ruang terbuka itu. 
Aku siapkan hidangan yang hanya dibuat sekali seumur matahari yang diolah tanganku sendiri. 
Sejarah baru akan segera dimulai. 
Jangan kau cemburui atau merasa agul. 
Karena senja masih menyala di hatiku, dengan pelangi mengharumkan senyum yang bertaburan di angkasa raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar