Jumat, 16 Januari 2015

FlashFiction: Luka

Sore ini aku mengunjungimu. Banyak hari telah berlalu dan keadaanmu masih tetap sama, duduk di ujung ranjang, dibalik jendela. Masih mengharap kehadiran pelangi selepas hujan, yang nyatanya langit masih selalu terik.
Seperti biasa, kuulurkan sebatang lolipop serambi meletakkan bokong di sebelah dudukmu. Matamu tertuju pada lolipop, lalu tersenyum sesaat. Dengan perlahan kau buka plastiknya dan langsung melahap nikmat. Ekspresimu kembali datar menatap daun berserak yang tertiup angin di pekarangan.
Kuraih gadget ukuran 7" yang berada di belakangmu. Ternyata masih membuka aplikasi sosmed yang menampilkan gambar seorang perempuan bersama dua lelaki.
 "Bagaimana bisa kamu mengatakan sudah maafkannya, bahkan hanya untuk melihat senyumnya di foto kamu menjadi begitu hancur. Seberapa besar kau membenci perempuan itu? bukankah tempo hari sudah saling minta maaf dan memaafkan? lagi pula sudah tak ada hak untukmu membencinya. Semua sudah menjadi masa lalu. Berdamailah dengan keadaan. Masih banyak hal yang bisa kau lalui tanpa melibatkannya!" Tanpa mampu kupendam aku memakimu. Maaf.

"Oh, atau kamu merindukan salah satu dari lelaki yang ada di foto itu? Buang jauh-jaub pikiran itu. Cinta membuatmu gila." Teriakku frustasi.
"Sudah ribuan kali kau mengatakannya. Bukannya aku tak bisa menerima kenyataan. Namun seberapapun melupakan luka, goresannya akan tetap terasa. Selamanya." Kembali kulihat butiran air dari pelupuk matamu.
Sebegitu dalamkah luka yang kau rasakan? berbagilah. Aku tak ingin kau kembali trauma. Keadaanmu yang seperti ini membuatku takut menjalin hubungan dengan seseorang. Aku takut keblabasan memberi kebebasan yang akhirnya justru masuk ke lubang kegelapan dan menyisakan banyak goresan luka.

2 komentar: