Senin, 09 Juli 2012

Ibu


            Jika ditanya siapa orang paling aku aku cintai di dunia ini, jawabanku selalu sama. Ibuku. Mengapa? Beliau adalah orang yang pertama mengenalkanku pada dunia. Beliau menceritakan kasih sayangnya bahkan sebelum aku hadir di kehidupan yang sangat sibuk ini.
            Ibuku pahlawanku. Itu menurutku. Beliau merupakan orang paling berperan dalam hidupku dan kurasa sampai akhir hayatku nanti.
            Sembilan bulan aku berada di ruang yang istimewa dalam raga ibu. Beliau membawaku kemanapun akan pergi walau tubuh terasa berat, meski pinggang terkadang nyeri menahan beban. Cinta dan kasih terus mengalir dari hatinya.
            Pengorbanan terbesar untukku adalah ketika aku harus keluar dari rahim. Beliau rela mempertaruhkan nyawa demi melahirkanku ke dunia yang fana ini. Tegang, sakit, takut dan kekhawatiran saat menanti kedatanganku segera terbayar saat beliau mendengar sebuah tangisan nyaring bayi mungil yang baru saja keluar dari rahimnya. Bahagia yang tak akan pernah bisa teruraikan dengan barisan kata.
            Peran besar beliau tak hanya sampai disitu. Ibu rela bangun hanya untuk menenangkanku yang menangis saat tengah malam. Menanggapi dengan sabar pertanyaan yang sama yang kulontarkan setiap lima menit sekali. Tak lelah memujukku untuk makan disaat kusedang tak berselera. Dan banyak lagi.
Ada satu kisah yang tak pernah hilang dari memori ingatanku. Sebuah peristiwa di bangku kelas 12 semester kedua. Waktu yang begitu sibuk untuk persiapan Ujian Nasional dan pendaftaran ke perguruan tinggi.
Hari itu aku mengumpulkan akumulasi nilai raportku ke ruang BP untuk persyaratan pendaftaran SNMPTN jalur undangan. Di ruang BP semua anak membicarakan berapa nilai-nilainya. Saat itu aku merasa minder, nilaiku dibawah teman-temanku semua. Aku ingin mundur. Aku merasa sudah kalah sebelum bertanding. Tak tahan berlama-lama di ruang BP, aku mengajak temanku untuk pulang karena jam pelajaran juga telah berakhir.
Sepanjang perjalanan pulang, kelopak mataku menghangat. Ingin rasanya cepat sampai rumah. Aku selalu terbayang nilaiku yang tak begitu memuaskan. Menyesali mengapa aku tak pernah mendengarkan ucapan ibu yang selalu membujukku untuk rajin belajar. Sia-sia sekolah di SMA favorit jika nantinya tak bisa menembus perguruan tinggi negeri yang bagus.
Benar saja, sesampai di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Tak peduli dengan sapaan Ayah yang sedang duduk di ruang tengah. Kutumpahkan butiran-butiran kristal bening dari mataku. Emosi perasaanku begitu dalam. Sebenarnya  itu hal biasa namun entah mengapa aku begitu memikirkannya.
Malam harinya ketika semua orang berada di rumah aku menceritakan apa yang terjadi. lagi-lagi hujan membanjiri pipiku. Aku berbaring telungkup di pangkuan ibu, menutupi kecengenganku. Beliau membelai lembut rambut hitamku. Memberiku semangat, terus memotivasiku.
“Semua belum terjadi sayang, masih ada waktu. Kalaupun belum bisa menembus jalur itu, masih banyak jalan lain. Kamu ingat saat kelulusan SMP? Sejak kelas satu kamu belum pernah mendapat peringkat pertama. Dan lihat hasil akhirmu? Kita semua tak menyangka kamu berhasil menjadi yang terbaik. Semoga nanti akan kembali terulang. Teruslah optimis sayang, Tuhan itu Maha Tahu dan Adil...”
Dalam diam, kururan air mataku semakin deras. Aku malu selama ini belum bisa menebus semua pengorbanan, kesabaran dan perjuangan orangtuaku. Ya! Sebelum terlambat aku harus melakukan sesuatu.
Tiga bulan setelah pendaftaran, aku mendapatkan hasilnya. Sangat mengejutkan. Dengan nilai yang tak terlalu tinggi aku berhasil masuk perguruan tinggi negeri seperti mimpiku dan harapan ibuku. Sungguh tak terduga. Aku sangat bersyukur dengan apa yang kudapat. Aku yakin semua hasil yang kuperoleh itu berkat dukungan besar dari keluarga dan sahabat, terutama ibu dan ayah.
Aku terharu melihat ibu mengeluarkan air mata saat mengetahui aku berhasil. Sungguh, saat itu aku sangat senang. Itu artinya aku mulai bisa membuat ibu bangga. Akan kuusahakan lagi dan lagi.
Bagiku, ibu tak akan pernah terganti. Karena beliau, aku hadir di dunia. Karena beliau, aku tersenyum. Karena beliau, aku berilmu. Karena beliau, aku berhasil.  
Sosok istimewa lain adalah Ayah. Terimakasih segala perjuangan dan pengorbananmu untuk merawat dan menghidupiku hingga kini.... 
Sebuah cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar