Senin, 12 Oktober 2015

Aku Cinta Papua



               
Mamberamo. Di sinilah aku sekarang. Sebuah daerah terpencil di pedalaman Papua. Sebuah wilayah yang takkan muncul di google map atau bahkan atlas. Berdasarkan garis lintang dan garis bujur, tentu pada titik yang kumaksud hanya tampak warna hijau. Tempatku berpijak kini tepatnya berada di Mamberamo Ulu. Kecamatan ini  memang hanya perkampungan diantara hutan dan sungai besar. Bahkan untuk menuju wilayah kabupaten harus menempuh perjalanan enam jam menggunakan speedboat.
“Bu guru Luna, mari kita berangkat!” teriak suara melengking anak perempuan dari luar kelas.
“Iya, sebentar.” Aku buru-buru membereskan hasil ulangan siswa dan segera berlari ke luar kelas.
“Ayo bu guru, aku sudah tidak sabar mau berenang di air terjun,” tangan-tangan kecil menggamit kedua tanganku dan berjalan riang di samping kanan - kiriku.
“Bu guru juga ingin sekali melihatnya, apa benar cerita yang selalu dikatakan oleh Bertus kalau air terjun itu sangat indah ataukah hanya imajinasinya saja,” sahutku sambil bergurau.
“Benar bu guru, aku tak pernah berbohong,” bela Bertus yang berjalan bersama ke tiga temannya di depanku.

Baru beberapa langkah dari rumah terakhir yang kami lewati, pepohonan tinggi mulai menyapa. Sebenarnya sedikit khawatir akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena kami memasuki wilayah hutan lebat tanpa ada lelaki dewasa yang mendampingi. Namun kembali teringat ucapan ibu angkatku di sini bahwa anak-anak di Mamberamo sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari bahan makanan atau sekedar mengumpulkan kayu bakar. Beliau juga meyakinkanku bahwa hutan yang masih berada di dekat pemukiman itu sudah tidak ada hewan buas yang mengancam, jadi aman jika masuk ke dalam hutan.
Kupandangi kepala anak-anak yang berjalan di depanku. Bahagia rasanya bisa berada di tengah-tengah para malaikat kecil yang selalu menebar senyum semangat setiap harinya. Belum genap sebulan mengenal mereka, keakraban yang terjalin diantara kami sudah begitu erat. Mereka yang awalnya malu-malu, kini mulai mau mendekat bahkan memelukku. Mereka yang semula tak berminat bersekolah, kini justru berangkat dengan semangat. Inilah salah satu bentuk pengabdianku hingga satu tahun ke depan di daerah yang belum tersentuh listrik ini.
“Bertus, masih jauhkah?” tanyaku setelah menyusuri jalan setapak kurang lebih sejauh dua kilo meter.
“Sebentar lagi bu guru, setelah kita melewati sungai kecil di depan itu,” Bertus menunjuk sebuah sungai yang jaraknya kurang lebih setengah kilo dari tempat kita beristirahat sekarang.
Aku mendongakkan kepala. Pohon tempatku bersandar benjulang begitu tinggi. Itu hanya satu diantara jutaan pohon yang tertanam di tanah pijakanku kini. Sinar matahari bahkan hanya mampu menembus sedikit di celah-celah dahan pohon. Kupejamkan mata sebentar lalu kuambil napas perlahan. Sejuk. Damai.
“Bu guru, bu guru, lihat kita bisa melihat gunung dari sini,” seru Raema sambil menggoyangkan bahuku.
Aku membuka mata dan mengikuti kemana tangan kanan Raema menunjuk. Subhanallah, itu gunung Jaya Wijaya.
“Bu guru, aku ingin ke sana. Apakah suatu hari nanti kita bisa dampai di puncak gunung itu?” Elia yang duduk di samping Raema mengeluarkan suara.
“Tentu saja bisa, kalau kalian sudah besar dan punya tenaga yang kuat pasti mampu mencapai puncak gunung tertinggi di Indonesia itu!” Jelasku bersemangat.
“Suatu saat kita harus mencapai puncak gunung itu kemudian berteriak ‘aku cinta Papua’,” teriak Titus lantang sambil berdiri dan mengangkat tangannya yang mengepal.
Melihat ekspresi Titus seperti itu, aku jadi ingat seseorang. Seseorang yang pernah mengajari arti sebuah perjalanan. Seseorang yang pertama kali menggandeng tanganku menuju puncak salah satu gunung tertingi di pulau Jawa. Ekspresinya begitu mirip dengan Titus, juga kata-kata yang diucapkannya.
“Aku cinta Indonesia! Aku cinta Luna!”
Hatiku begitu haru mendengar ungkapannya yang diteriakkan dengan lantang. Di ketinggian 3.428 Mdpl itu dia menyatakan perasaannya. “Luna, terima kasih telah menemaniku menuju puncak tertinggi gunung Slamet ini,” lanjutnya lagi-lagi membuatku benar-benar di atas awan.
Sayang beribu sayang ternyata kisah yang dibangun di tempat tertinggi itu tak mampu bertahan ditimpa angin yang terus meniup menggoncang keyakinan hati. Belum sempat menempuh pendakian kedua, hubungan kami telah memudar. Angin telah meniupkan hatinya menuju kuncup bunga yang lain. Tak apa. Tuhan selalu memberi jalan terbaik, mungkin beginilah takdirnya.
“Bu guru, teman-teman ayo kita lanjutkan perjalanannya,” ajak Titus sambil beranjak dari duduknya.
Aku kembali tersadar. Kini mimpiku adalah membangun impian anak-anak di depanku ini, bukan lagi memikirkan lelaki yang kini entah di mana dan bersama siapa. Ketika aku akan berdiri tiba-tiba ada sesuatu yang melewati punggung kakiku. Bergerak.
“Huaaa!” teriakku kencang karena terkejut sekaligus takut.
“Bu guru jangan lari, nanti ularnya justru akan melilit!” Bertus memberi peringatan.
Aku menurut. Persendian lututku mulai lemas. Ular adalah binatang yang paling kutakuti. Aku mengalami trauma masa kecil karena hampir digigit ular.
Bertus mengambil sebuah ranting pohon kemudian mendekatkannya ke kepala ular. Selanjutnya aku tak tahu apa yang dia lakukan karena aku menutup mata untuk mengontrol diriku agar tak sampai pinsan.
“Bu guru, ularnya sudah pergi. Ibu tak apa-apa kan?”
Aku membuka mata. Kupandangi satu per satu wajah di depanku. Mereka semua menampakkan wajah khawatir. Kemudian aku tersenyum demi menenangkan mereka. Aku yakin mereka pasti mencemaskanku yang memang sudah tahu sangat takut dengan binatang melata itu.
“Ibu tidak apa-apa, terimakasih Bertus sudah menolong,” kuusap pelan kepala Bertus. Bocah kelas empat itu tersenyum malu-malu.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan yang tinggal sebentar lagi. Tak lama, kami sudah sampai di tepi sungai kecil yang ditunjukkan Bertus tadi.
“Ayo bu guru, kami akan memegang tangan bu guru agar tidak terjatuh,” ucap Raema, siswa  kelas enam sekaligus siswa yang paling tua dalam perjalanan kami kali ini.
Aku tersentuh dengan kalimat Raema. Begitu tulusnya kasih mereka terhadap gurunya meski baru mengajar satu bulan.
Kupegang erat tangan Raema dan Bertus yang sengaja memposisikan di kanan-kiriku. Sungai selebar hampir lima meter yang airnya cukup deras dan dasarnya bebatuan licin. Hampir saja aku terjatuh jika tidak dipegang oleh mereka berdua. Rasanya malu sekali pada mereka semua. Harusnya sebagai guru aku bisa melindungi mereka, bukan sebaliknya. Selama ini aku berada di kota yang semuanya berjalan begitu mudah. Kini, di daerah pedalaman Papua ini semuanya perlu perjuangan. Aku juga akan berusaha berjuang demi membantu mewujudkan cita-cita mereka sebagai generasi penerus bangsa.
“Kita sudah sampai!” Elia dengan suara melengkingnya terdengar begitu takjub melihat keindahan air yang terjun dari ketinggian puluhan meter.
               


 #KampusFiksi #CeritaHutan #AlamLiar

2 komentar: