Minggu, 11 Oktober 2015

Sebuah Tanda


Aku tersentak. Kulihat jam dinding yang tertempel pada bilik kamar menunjuk angka satu. Masih tengah malam. Tanpa terasa keringat dingin mengucur dari pori-pori kulit wajahku. Aku meringkuk. Tanganku gemetar merengkuh kedua kakiku. Aku takut.
            Aku menoleh wanita separuh baya yang terbaring di samping kananku. Masih terlelap dalam tidurnya. Raut wajah yang mulai keriput menampakkan keletihan.
            “Bu, Tita mimpi ayah lagi...” ucapku berbisik di depan wajah beliau.
            Sudah seminggu terakhir aku selalu memimpikan Ayah. Tak tahu pasti dimana lokasinya. Kadang melihat ayah sedang menatap kosong. Melihat ayah duduk sendiri di tengah keramaian. Melihat ayah hampir tertabrak mobil ketika sedang menyebrang. Dan mimpi terburuk adalah malam ini. Aku tak sanggup untuk membayangkannya lagi. Ayah, Tita kangen. Tita nggak mau mimpi-mimpi buruk tentang Ayah lagi. Semoga ayah baik-baik saja di sana ya...
***

            “Tita, ayo bangun, katanya pagi ini ada ulangan.” Ibu menepuk bahuku.
            Sayup-sayup kubuka mata. Kupulihkan kesadaran. Ah, ibu selalu mengertiku. Beliau tak pernah lupa untuk mengingatkanku dalam hal apapun.
            Jam dinding menunjuk angka empat dan itu artinya aku baru tidur lagi dua jam lalu. Walaupun mata masih terasa berat, kuusahakan untuk terbangun dan belajar. Aku tak akan membuat kecewa ibu dengan nilaiku yang tak sempurna.
            Ketika berangkat sekolah, ibu sudah berangkat ke pasar. Beliau bekerja sebagai pedagang sayur. Bermodalkan tanah belakang rumah seluas 7 x 10 meter, ibu menanami sebagian tanah dengan palawija dan sebagian lagi dengan aneka sayuran, seperti kangkung, bayam dan lobak. Ladang kecil itu dikelilingi pohon singkong yang mulai menjulang tinggi.
            Sejak tak ada kabar dari ayah, ibu yang bertanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga. Beliau banting tulang menghidupi kehidupan kami, terutama sekolahku.
             Pagi ini bis penuh dengan anak-anak berangkat sekolah, orang yang mau kerja juga pedagang asongan. Meskipun harus berdesakan setiap pagi, aku tak keberatan. Semua tak akan sia-sia demi masa depanku.
Dimana akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku ingin slalu bertemu
Untukmu aku bernyanyi...
            Tanpa terasa pelupuk mataku menghangat. Dendangan lagu yang dinyanyikan seorang pengamen berhasil membuatku terhanyut. Lagu paling tepat saat ini untukku mungkin lagu Ayah yang pernah dinyanyikan oleh band Peterpan sebelum berganti nama menjadi Noah. Lagi-lagi mimpi itu kembali membayangiku. Aku takut sesuatu sedang terjadi dengan Ayah.

Sesampai di sekolah, aku tak bisa konsentrasi mengerjakan ulangan. Bayangan Ayah terus mengelilingi pikiranku. Cepat-cepat aku menyelesaikan ulanganku. Tak peduli lagi dengan hasilnya nanti.
Maaf bu, Tita kali ini mungkin akan mengecewakan.
            Setelah mengumpulkan lembar jawabku, aku langsung menuju perpustakaan. Di sanalah tempat paling nyaman untuk menenangkan diri. Menuliskan segala kegundahan dalam hati. Dengan nafas sedikit sesak, aku mulai menulis.
            Ayah, apa kau baik-baik saja?
            Ayah, Tita sangat merindukanmu yah. Sudah empat tahun ayah pergi. Meninggalkan Tita, ibu dan kak Abi. Ayah selalu mengirim uang setiap bulan di tahun pertama, tapi di tahun kedua hingga kini, ayah tak lagi mengirim biaya hidup untuk kami. Bahkan sepucuk surat pun tak pernah kami terima darimu.
            Ada yang bilang ayah sudah menikah lagi dengan orang kota. Itu tidak benar kan? aku percaya ayah sangat mencintai kami, terutama ibu. Ayah tak mungkin menghianati kami kan? ayah pergi untuk bekerja. Mencari nafkah untuk kehidupan kami sekeluarga. Ayah juga telah berjanji jika penghasilannya terkumpul banyak, ayah akan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Aku menantinya yah. Aku sekarang masih SMP.
            Ada pula orang yang mengatakan bahwa ayah meninggal di kota karena guna-guna. Aku sangat tak mempercayai ini. Ayah adalah orang yang baik, disukai banyak orang. Ayah tak punya musuh dan tak mungkin ada orang jahat yang tega memperlakukan ayah seperti itu. Tiga tahun tanpa kabar bukannya tanpa alasan. Mungkin ayah terlalu sibuk mengurusi pekerjaannya hingga tak sempat untuk menghubungi kami, keluarganya.
            Tak dapat kutahan lagi genangan air mata yang telah memenuhi kantung mata. Akhirnya kutumpahkan semua. Pipi kembali lembab. Ini air mata yang keluar kesekian kalinya untuk ayah. Aku selalu berharap semua kristal bening ini tak pernah habis sampai aku menangis bahagia atas kepulangan ayah.
            Ayah, Tita nggak mau kehilangan lagi. Mungkin ayah belum tahu kalau kak Abi telah pergi. Dia pergi satu tahun lalu ketika akan menjemput ibu ke pasar. Tita sedih yah. Tita belum bisa membahagiakan kak Abi. Tahun itu kak Abi baru saja lulus SMA. Dia ingin sekali meneruskan ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan Sastra Inggris. Kak Abi sangat mahir bicara bahasa Inggris yah. Tapi ayah tahu bagaimana keadaan keluarga ini. Kak Abi lebih memilih membantu ibu berkebun dan mengajar les bahasa inggris untuk anak SD. Aku selalu bangga melihat semangatnya.
            Sayang sekali ada mobil tak bertanggung jawab menabrak kak Abi saat kakak akan menjemput ibu di pasar menggunakan sepeda onthel. Setelah melihat kak Abi tergeletak tak berdaya, pengendara mobil langsung melarikan diri.
            Kakak menghembuskan nafas terakhirnya saat perjalanan menuju rumah sakit. Aku yang dikabari saat di sekolah, langsung shock. Rasa gelisahku sejak pagi terjawab sudah. Ternyata itu sebuah pertanda. Aku tak sanggup menerimanya. Beberapa hari setelah kepergiannya, aku seperti orang linglung. Kehilangan semangat hidup. Aku tak sanggup melihat ibu harus berjuang banting tulang sendirian. Dalam setiap doaku, aku selalu berharap ayah akan kembali. Menopang keluarga ini lagi.
            Ayah, kak Abi selalu menenangkan hatiku saat aku sedang merindukanmu. Kakak tak pernah lupa untuk menghapus air mataku ini. Dekapan hangat selalu membuatku tegar. Percaya ayah akan kembali.
            Kulihat ibu begitu tabah menerima kepergian kak Abi. Beliau hanya menangis saat di pemakaman. Selanjutnya aku tak pernah melihat lagi air matanya.
            Ayah, sampai kapan aku terus menanti? Aku tak mau kejadian kak Abi terulang kembali. Ayah, aku selalu terbayang wajahmu. Aku ingat ketika ayah menggendongku di taman bermain. Saat itu aku terjatuh dari ayunan. Ayah begitu lihai menghiburku dari rasa sakit yang kurasa. Ayah mengusap pipiku yang telah basah air mata. Aku tak akan pernah melupakannya yah.
***
            Bel masuk telah berdendang. Aku kembali ke kelas dengan membawa catatan harianku. Berapa teman menanyakan sikapku yang berbeda, katanya hari ini aku sangat murung dan pendiam. Senyuman kulempar pada mereka. Aku menyatakan kalau aku baik-baik saja.
            Sekarang pelajaran seni musik. Guru muda nan cantik itu memberi contoh cara menyanyi menggunakan teknik. Beliau menyanyikan lagu yang membuat hatiku ngilu. Untuk kedua kalinya hari ini aku mendengar lagu yang ‘aku’ banget.
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
            Suaranya penuh penghayatan. Seisi kelas terdiam memperhatikan. Beberapa siswa menangis haru. Aku pun tak luput dari bayang ayah. Air mata kini benar-benar ada di pipiku. Seperti lirik lagu itu. Untuk kesekian kalinya aku mengungkap rindu padamu.
            Kata Bu Guru, seorang penyanyi dinyatakan berhasil jika penonton bisa terbawa emosi isi lagu tersebut. Dan ternyata Bu Guru berhasil.

            Sepulang sekolah aku langsung pergi ke rumah Silla, teman sekelasku. Kami akan mengerjakan tugas matematika bersama. Aku selalu senang berteman dengannya. Silla anak yang ramah dan baik. Orang tuanya yang bekerja sebagai pegawai negeri tidak membuatnya sombong dan pilih-pilih teman. Aku bahagia dia selalu mengajakku untuk belajar bersama di rumahnya. Biasanya kami belajar di ruang tengah, dan di situ ada televisi yang menyala terus. Aku agak heran mengapa mereka tidak sayang menggunakan listrik yang tak penting. Tapi ada untungnya juga, aku bisa sesekali menonton acara televisi yang tak pernah dapat kunikmati di rumah. Ah, aku tak pernah bermimpi memiliki televisi. Bisa makan dan membayar biaya sekolah pun aku sudah sangat bersyukur.
            Siang itu televisi sedang menayangkan siaran berita. Ternyata Indonesia sering masih sekali terjadi bencana. Dalam satu hari ada kejadian kebakaran hingga maupun kesulitan air bersih. Berita politik pun tak pernah luput dari pemberitaan. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih tumbuh subur di negeri ini. Sungguh miris bila terus memperhatikan peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Ah, aku tak akan terlalu memikirkannya. Itu urusan orang dewasa.
            Selesai mengerjakan tugas, aku bersiap pamit pulang. Kulirik sekilas televisi yang sedang menayangkan tentang kecelakaan. Aku ingin memperhatikan sebentar. Kudengar pembawa berita menjelaskan peristiwa kecelakaan.
            “Kecelakaan juga terjadi di salah satu stasiun di Jakarta. Seorang lelaki yang sedang berjalan di tengah rel kereta api tak menyadari ada kereta yang melaju dengan cepat dari arah belakangnya. Masinis berkali-kali membunyikan sirine tapi lelaki itu tak kunjung menghindar. Alhasil, tabrakan pun terjadi. Lelaki yang belum diketahui identitasnya itu tewas seketika. Tubuhnya terpental hingga sepuluh meter...”
            Tanpa terasa lagi-lagi aku mengeluarkan air mata. Terkadang aku benci diriku yang cengeng dan begitu mudah menangis. Tapi sungguh, perasaan ini seperti pada saat aku menerima kabar kematian kak Abi. Mataku begitu jeli memperhatikan tayangan itu. Pakaian yang sama, tanpa alas kaki, membawa satu tas punggung hitam. Sama persis seperti mimpiku semalam. Mimpi terburuk yang pernah kualami. Hal yang selama ini kutakutkan kini terjadi juga. Meskipun lelaki itu diberitakan tak diketahui identitasnya dan tubuhnya berlumuran darah, aku bisa mengenali wajah itu. Wajah yang terus ada dalam benakku selama bertahun-tahun. Wajah yang selalu mengisyaratkan ketegaran dan kebijaksanaan.  Aku merasakan kehilangan untuk kedua kalinya.
            Segera aku berpamitan kepada Silla. Langkahku lemas. Sendi-sendi tulangku seperti lumpuh. Dan ketika melangkah keluar dari pintu rumah Silla, tubuhku terhuyung. Gelap seketika.

#Ayah #NulisBarengAlumni @KampusFiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar