Kamis, 08 Oktober 2015

Perihal Khianat

Prang!
Suara benda pecah kembali terdengar. Sudah bisa dipastikan itu pertanda perang akan di mulai. Ada apa lagi ini?
“Mau kemana keluar tengah malam begini? menyusul pelacurmu yang sedang sekarat di rumah sakit?” teriak seorang perempuan terdengar begitu jelas.
“Jangan pernah menyebutnya pelacur, Merli. Dia punya nama, Kinanti!” suara bariton terdengar tak kalah keras. “Oh ya, urus saja anakmu yang tidak berguna,” lanjutnya. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibanting.
Anak tak berguna? Iya aku tahu siapa yang dimaksudnya. Siapa lagi kalau bukan aku, seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang sama sekali tak berguna, bahkan hanya untuk mengurus diri sendiri pun tak mampu. Apa lagi yang mau di harapkan dari gadis yang hanya terbaring di atas kasur dan terisolasi dalam sebuah ruangan berdinding ungu gelap selama berbulan-bulan?
“Non Maura…”
Aku kembali tersadar, ada seseorang yang sedang duduk di sampingku dengan mangkuk di tangan kiri dan tangan kanannya memegang sendok. Sendok itu ia letakkan di mangkuk. Perlahan tangannya mendekatiku. Tangan keriput itu mengusap pipiku yang basah.
“Apapun yang terjadi, ada mbok di sini, non Maura jangan sedih lagi ya,” perempuan yang sudah kuanggap nenekku menatap dengan penuh kasih, juga nelangsa.
Mbok benar, hanya dia satu-satunya orang yang masih peduli denganku. Sejak peristiwa “itu”, satu per satu orang yang kusayangi pergi menjauh. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran mereka yang berubah 180 derajat. Dulu mereka selalu menyanjungku atas segala prestasi yang kuraih, tapi sekarang? Sekedar menyapapun tak pernah. Mereka menganggapku sudah mati. Ah, mengapa tak sekalian mati saja biar tak memupukkan rasa sakit yang terus bertambah?
Aku mampu mendengar. Aku mampu merasa. Aku tahu semuanya hanya karena mendengar. Mereka bebas mengata apapun karena mereka tak tahu aku masih mampu mendengar. Lagi-lagi, hanya Mbok yang mengertiku. Beliau tak pernah berhenti cerita meski aku tak merespon apapun. Beliau selalu sabar menyuapi bubur sedikit demi sedikit selama berbulan-bulan tanpa pernah mendengarku mengucap terima kasih. Hanya beliau yang paham ketika perasaanku sedang hancur, hampir setiap hari.
Aku terperangkap di ruangan ini karena kesalahan seseorang. Seseorang yang buta karena cinta. Ya, cinta telah membuatnya buta. Dihalalkannya segala cara demi mendapatkan seseorang yang dicintainya hingga tega melukai orang lain, melumpuhkan sahabatnya sendiri.
Di balik dinding ini aku akhirnya mengetahui bagaimana keluargaku sebenarnya. Ayah punya wanita simpanan sejak beberapa tahun lalu dan ternyata dia malu melihat anak kandungnya menjadi mayat hidup. Kemudian bunda. Bunda diam-diam masih merokok, sesekali kucium aroma asap ketika mendekatiku. Bunda tak tahu kalau indra penciumanku masih berfungsi. Di balik dinding ini aku tahu bahwa tak semua orang dapat kupercaya, bahkan sahabat yang sudah bersama hingga lima tahun. Di balik dinding ini akhirnya kutemukan kebenaran siapa yang tulus mencintaiku. Lelaki yang dulu selalu mengejarku dan mengucap sumpah mati cinta padaku, hanya omong kosong belaka. Aku menjadi begini juga karena dia, tega-teganya dia meninggalkanku begitu saja. sekali lagi, hanya satu orang yang mencintaiku, Mbok. Bukan Bunda, Ayah, atau bahkan lelaki penghianat itu. Aku lelah, di balik dinding ini setiap hari kudengar pertengkaran yang tak kunjung usai. Di balik dinding ini dunia masih membahana. Dan di balik dinding ini aku kesepian.  
Begitu mudahkah seseorang untuk berhianat?





#NulisBarengAlumni @KampusFiksi

Sepertinya ini lebih ke cuplikan novel ya >,< 

2 komentar:

  1. Aku cukup enjoy bacanya, cuma spacing di blog ini kok antar paragrafnya dekat banget ya? Jadi agak mumet gitu bacanya. Karena dempet2 hehehe

    BalasHapus
  2. Mbak Mala,
    makasih ya udah mampir :)
    iya ini aku langsung nulis di blognya jadi pengaturan spasinya kurang teliti, selesai langsung posting hehe.
    Oke kuperbaiki. makasih sarannya :D

    BalasHapus